"Kita ke dokter yah mba, biar Fitra telpon mas Banyu" aksi Fitra terhenti saat Bbiya berusaha menggapai tangan Fitra yang hendak menelpon Banyu.
Bbiya menggeleng kepala, agar Fitra tak menghubungi Banyu. "Kita ke dokter saja, tapi kamu janji tidak menceritakan apa pun yang terjadi hari ini yah..." pinta Bbiya dengan lirih.
"Tapi..." sangkal Fitra tak mengerti dengan apa yang terjadi, namun dia tetap menuruti Bbiya untuk membawanya ke dokter. Menutup toko sementara waktu.
Usai mengambil resep dokter, Fitra memesankan taksi online untuk Bbiya. Perempuan itu melarangnya ikut mengantar pulang ke rumah. Hanya diminta untuk esok hari datang membereskan toko tanpa harus membukanya.
"Terimakasih yah Fit, kamu boleh pulang."
"Sama - sama mba Bbiya. Nanti kabarin Fitra kalau sudah sampai rumah."ucap Fitra seraya melambaikan tangan saat mobil taksi onlinenya mulai melaju.
Sampai di rumah, Bbiya merebahkan tubuhnya di kasur. Merasakan nyeri yang bergantian pada tubuhnya. Usai meminum obat Bbiya pun terlelap. Hingga malam tiba, Bbiya terbangun melirik jam sudah menunjukan pukul 8.30 wib. Mengitari sekeliling kamar yang masih nampak sepi, Banyu belum pulang. Keningnya mengernyit saat merasa nyeri pada pinggang saat bergerak hendak berganti posisi. Tak berdaya, Bbiya pasrah kembali memejamkan mata.
Pukul 9 malam, Banyu baru sampai di rumah. Suara pintu yang terbuka membangunkan Bbiya seketika, namun tubuhnya tak beranjak. Tanpa salam, Banyu melengos ke kamar mandi. Rautnya terlihat serius saat Bbiya meneliti wajah pria itu, seperti ada yang salah. Namun dirinya tak tahu apa.
Bbiya susah payah bangkit untuk memposisikan tubuhnya bersandar pada ranjang, hendak bertanya tentang harinya Banyu. Lama di kamar mandi, Banyu tak kunjung keluar. Bbiya yang tak enak badan pun merasakan kembali kantuk. Sampai pria itu keluar sudah rapih dengan piyamanya, Bbiya berniat menyapa setelah Banyu ikut duduk di atas kasur. Namun Banyu tak peduli, seolah tak ada manusia lainnya. Setelah membaringkan tubuhnya, Banyu membelakangi Bbiya.
Melihat prilaku Banyu yang tak peduli menyayat hati Bbiya. Periiih. Seketika airmatanya menetes membasahi pipi. Tak ada hal lain baginya, selain berbagi cerita layaknya teman. Namun sesuatu yang disadarinya seperti ada yang salah, tak seharusnya Bbiya berharap perhatian seorang yang tidak dikenal sebelumnya. Mungkin banyak hal yang terjadi, menjadikan dirinya menjadi lebih perasa.
Untuk menghindari suara dari tangisnya, Bbiya segera mengusap tetesan airmata yang membasahi pipi, menghela nafasnya dalam dan pelan. Menyesali apa yang telah dilakukannya sendiri. Permasalahan dengan Dafa tak kunjung terselesaikan ditambah kehadiran Banyu yang seolah menjadi permasalahan baru dan tak mampu untuk dihentikan.
Tangis Bbiya masih menjalar, hingga isaknya menarik perhatian Banyu yang sedari tadi belum ngantuk. Tak berani untuk sekedar menenangkan. Banyu merasa sedikit penasaran, apa yang yang terjadi pada perempuan yang kini di sampingnya? Namun seketika menggeleng, menepis pikirannya. Apa pedulinya pada seseorang yang ingkar? Sudah benar dirinya tak menautkan perasaan pada perempuan yang kini menjadi istrinya, terpenting tugasnya berbhakti pada orangtua sudah terselesaikan.
---
Pagi harinya, Banyu sudah siap untuk pergi ke yayasan. Sejak awal memang tak berniat pamitan. Namun hatinya merasa penasaran, mengapa Bbiya sejak subuh tak beranjak dari tempatnya? Lagi - lagi Banyu menepis, tak ingin terlalu peduli. Namun tas laptopnya tertinggal di meja, membuatnya harus kembali masuk.
Banyu melirik keberadan Bbiya masih tak bergeming. Sontak langkahnya menghampiri, seperti mimpi buruk Bbiya mengigau pelan. Banyu perlahan menyentuh wajah Bbiya yang pucat berkeringat, suhu tubuhnya melebihi sedikit dari normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALBU
SpiritualAbbiya hanya ingin mencurahkan isi hatinya. Meski lelaki yang bersamanya kini tak seharusnya bersama dirinya, Dafa. Lelaki yang pernah singgah dan memilih Bbiya menjadi kekasihnya kini sudah memilih wanita lain sebagai pasangan. Setahun setelah pern...