8. Tak Perlu Percaya

136 9 0
                                    

Bbiya sudah bersiap - siap. Seperti biasa riasannya tipis namun terlihat cantik natural. Siang ini dia akan menemui Dafa. Sejak kemarin lelaki itu terus menghubunginya, namun diabaikan. Tentu saja dia tidak akan menjawab semua panggilannya, selain karena dirinya sedang berada dirumah Banyu, Bbiya memang sudah malas menghadapi Dafa. Apalagi masalah istrinya yang datang ke club malam itu.

Meski awalnya malas, Bbiya berusaha untuk menerima ajakan Dafa. Pikirnya terasa kacau sejak semalam.

Flashback on

"Kamu kenapa Bbi? Maaf, maaf sebelumnya nih kak Rara mau tanya." ucap Rara menajamkan fokus Bbiya pada Rara, memiringkan tubuhnya agar mampu menyimak Rara dengan baik. "Apa kamu terpaksa menerima perjodohan ini?"

Deggghhh. Kalimat Rara menyengat Bbiya seketika. Mulutnya yang masih mengunyah sisa - sisa makanan, terasa sulit untuk dicerna. Bukan karena tidak setuju dengan pernyataan Rara, wajar memang perempuan itu bertanya karena dalam hati Bbiya pun memang tak ingin menikah dengan orang yang baru saja dikenalnya. Namun, bukan berarti dirinya bisa mengatakan iya dan menolak pernikahan itu. Apalagi di hadapan paman Rasyad dan umi Marwah.

Terlihat jelas nafasnya terhela oleh Rara saat perempuan yang sudah dikenalnya selama hampir dua tahun menundukan wajahnya. Jelas, sebagai perempuan Rara setidaknya memahami perasaan Bbiya terlebih lagi keduanya telah saling mengenal jauh sebelum kenyataan bahwa kedua orang tua mereka bersahabat dan adiknya, Banyu, akan dijodohkan sebagai suami Bbiya.

Suasana seketika ikut hening. Rasyad maupun Marwah yang sedari tadi ikut menimpali obrolan keduanya seketika diam. Selain menanti jawaban yang ingin mereka dengar, juga berharap tidak ada penolakan apapun dari Bbiya. Kemudian terlihat juga Banyu yang memandang sekilas wajah Bbiya.

"Kamu tak perlu merasa terbebani yah Bbi. Kalau kamu mau jawab--- tidak usah merasa berat kakak harap jawaban itu berdasarkan keinginan hati kamu. Pun, jika kamu tidak ingin menjawab--- tidak apa - apa. Sebagai perempuan kakak paham perasaan kamu. Tapi, kalau kakak boleh kasih saran bukan karena Banyu adik kakak, tapi karena kakak sayang sama kamu. Kakak sudah anggap kamu seperti adik kakak sendiri. Kamu boleh taaruf dulu, minimal tiga bulan, setelah itu kalau kamu cocok kalian boleh lanjut ke tahap pernikahan. Kalau tidak, juga tidak apa - apa. Berarti belum jodoh."

Hemmm. Bbiya memasang senyum di wajahnya. "Maafin Bbiya kak, kalau sikap Bbiya nampak tidak menerima perjodohan ini. Sebenarnya--- Bbiya merasa tidak pantas di keluarga ini," suaranya hampir tenggelam saat wajahnya kembali tertunduk menghadirkan iba dari Marwah dan Rara. Sentuhan lembutnya terasa di pundak, "Bbiya gak sebaik yang paman dan bibi pikirkan..." gumamnya dalam hati.

Banyu yang menyaksikan seketika merasa muak, seolah yang diucapkan Bbiya itu hanya bualan semata. Jelas - jelas dia tidak ingin menikah, dan memiliki kekasih yang tak harusnya dimiliki. Membuatnya menggeleng pelan.

"Iya Bbiya, yang dikatakan Rara ada benarnya. Kamu jangan merasa terbebani dengan perjodohan ini. Anggap saja awal pertemanan kamu dan Banyu dimulai. Paman dan ayah kamu sudah memikirkan ini dengan hati - hati. Awalnya kami akan menjodohkan Rara dan Biyan, namun rasanya memang bukan jodoh dan Rara sudah bertemu dengan lelaki yang menjadi suaminya kini. Adapun kamu dan Banyu, paman pikir tidak ada salahnya mencoba. Banyu juga tidak memiliki banyak teman wanita, jadi paman putuskan untuk mengenalkannya padamu terlebih dahulu. Usianya semakin hari semakin bertambah dan paman semakin tua. Paman ingin ada seseorang yang mampu mendampingi Banyu nantinya." suara Rasyad ikut keluar. Mendapat anggukan pelan dari Bbiya.

"Tapi---" suara Bbiya pelan segera dipangkas Marwah.

"Kamu tidak usah khawatir dan memaksakan diri. Umi paham, kamu cukup menutup telinga dengan tidak mendengarkan perkataan orang lain," kalimat Marwah seakan memahami situasi Bbiya terhadap omongan beberapa orang yang berbisik saat melihat Bbiya datang dan diperkenalkan sebagai calon istri Banyu. "Yang penting kamu perlahan - lahan berubah menjadi baik karena Allah, bukan karena seseorang." Yakinnya pada Bbiya.

Flashback off

Bbiya sudah duduk ditempat yang dipesan Dafa. Mengabaikan minuman dan makanan yang ada di hadapannya. Wajahnya menahan kesal saat lelaki itu bergelayut di lengan Bbiya, membuatnya risih.

"Kamu kesini, istri kamu tahu?"

"Ayolah sayang, sejak kapan kamu pedulikan dia. Kamu tahu kan kalau aku benar - benar bosan sama dia, dan aku menyesal meninggalkan kamu." omong kosong Dafa tak didengarkan.

"Aku sudah bilang padamu, kalau kamu masih ingin bertemu denganku, kamu harus selesaikan terlebih dahulu masalah dengan istrimu."

"Hemmm, oke - oke. Aku paham, jangan cemberut begitu dong." ucap Dafa yang katanya mengerti sambil memegang dagu Bbiya.

Lalu Bbiya menegaskan pandangannya, menatap tajam Dafa yang sama sekali tak terlihat cemas karena telah menduakan istrinya apalagi rasa bersalah. Entah hatinya terbuat dari apa? "Ingat Daf, aku tidak mau dipermalukan oleh istrimu. Jika kamu tidak bisa lakukan itu, lebih baik kita tak usah bertemu." kata Bbiya serius. Wajahnya tak menampilkan mimik canda atau santai seperti biasanya.

Dafa yang berusaha menganggap tak ada masalah apa -apa, "Iya - iya. Yasudah kita makan yuk!" Dafa langsung menyantap makanan yang ada di meja. Sesekali Bbiya menyedot jus yang sudah dipesankan Dafa. Dia sama sekali tidak berselera. Pikirnya melayang kemana - mana. Bbiya sadar jika apa yang dilakukannya saat ini tidak benar. Hanya berharap tak menghancurkan dirinya apalagi nama baik keluarganya.

Dering ponsel Dafa berbunyi. Tari My Honey. Bbiya cukup pandai menutup bibirnya, membiarkan Dafa berbicara. Terlihat wajah kesal di ujung pembicaraannya.

"Sebaiknya kamu pulang, jangan biarkan istrimu curiga." titah Bbiya dilakukan Dafa tanpa penolakan.

"Aku pergi yah..." kata Dafa yang diiringi dengan satu kecupan yang mendarat di kening Bbiya.

Bbiya mengibas pelan rambutnya ke belakang. Sudah menyandarkan punggungnya pada sofa yang masih di dudukinya. ini belum seberapa untuk menghancurkan kehidupanmu, Daf. Keningnya berkerut menahan amarah dalam hati. Membuang nafasnya kasar lalu beranjak pergi.

"Bbiya---" suara perempuan yang memanggilnya terdengar tidak asing. Menolehkan wajah ke arahnya.

"Kak Rara?" ucapnya sangat terkejut. Pikirannya keruh tak terkendali. "Apa kak Rara melihat kebaradaanku dengan Dafa tadi?" gumamnya dalam hati.

"Kok kamu kaget banget, ada apa?" tanya Rara selalu mengenali gelagat Bbiya.

Wajah Bbiya dipenuhi kebingungan. "Ahh--- kaget aja. Kakak sedang apa disini? Maksudku sama siapa?" ralat Bbiya, tentu aja orang yang datang kesini untuk makan terlepas tujuan lainnya itu apa.

"Aku sama Banyu, dia lagi parkir," jawabnya, "tuh orangnya baru masuk," tambah Rara menunjuk keberadaan Banyu.

"Banyu?" Bbiya semakin terkejut, berusaha menelan salivanya. Menenangkan diri. Tubuhnya mengikuti arah jemari Rara. Sudah menangkap keberadaan Banyu yang menghampiri.

"Pantes," ujarnya hampir tak terdengar. "Sama siapa kamu disini?" tanya Banyu begitu protektif.

"Sama temen," jawab Bbiya.

"Temen? atau temen?"

"Terserah, kamu nggak perlu percaya!" balasnya malas mencari masalah baru dengan Banyu. "Oh iya kak, aku pamit yah. Aku harus balik ke toko."

"Oke, kamu naik apa? Mau diantar Banyu?"

"Nggak perlu kak, aku bisa sendiri kok. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam... kamu hati - hati yah Bbi." kata Rara sebelum perempuan itu pergi meninggalkan retsoran.

-------------------------------------------------------------

Alhamdulillah ketemu lagi.

Nggak kerasa kita sudah menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan. Ngomong-ngomong apa aja nih kegiatan kalian selama lebaran? Semoga selalu happy - happy yah bareng keluarga.

oh iya, jangan lupa baca ceritanya terus kasih bintang dan komentar.

Happy a nice night all.

KALBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang