prolog✴

179 110 66
                                    


Umur, kehidupan, keselarasan, keseimbangan, keadilan, dan kehadiran. Topik terhangat yang pernah aku dengar tanpa meminta seseorang untuk berbicara.

Aku pikir hidup di jaman sekarang hanya modal tampang sudah menjadi senjata paling ampuh. Namun, ternyata tidak. Hidup yang dikelilingi oleh orang-orang pintar membuatku menciut seperti kerupuk dan meleleh seperti pelastik terbakar.

Umur 16 tahun, masa remaja yang aku jalani sangat membekas dan terasa kelam karena menemukan seorang lelaki yang tidak bisa aku kontrol. Umur 17 tahun, masa kelam itu mulai terkikis oleh waktu dan aku mulai menyadari kalau aku harus memiliki plan kehidupan yang sepertinya tidak bisa aku rencanakan. Dan itu membuat aku takut.

Dan diumurku yang menginjak 18 tahun, aku merasa plan itu tidak akan pernah ada karena aku yang tidak ada keinginan untuk merencanakannya. Dan masa kelam itu terulang lagi, lagi dan lagi.

Aku pikir kehidupan itu akan pergi mengikuti kemana aku berjalan. Namun, aku terlambat menyadari semua itu. Di usiaku yang menginjak 19 tahun, aku malah semakin ketakutan dengan jalannya hidup dengan efek bumi berputar.

"Belajar!" Suara wanita yang sangat akrab di telingaku terdengar sangat menyakitkan.

Kepalaku mendongak ketika seorang wanita yang berstatus sebagai ibuku kini sudah berdiri di samping ranjang, tangannya melempar beberapa buku yang sepertinya bekas kakakku belajar di sekolah sebelumnya.

Tubuhku langsung duduk tegak, kehadirannya membuatku takut. Mungkin karena statusnya sebagai seorang ibu yang membuatku merasakan rasa takut. Dengan refleks tanganku meraih buku terdekat di dekatku, kedua bibirku bergerak membacakan nama pemilik buku tebal itu. Kirana Blian. Benar saja, nama kakakku tertulis rapih dibalik sampul berwarna putih yang sayangnya masih mulus seperti baru.

"Bu-"

"Jangan malas-malasan, saya tidak mau uang suami saya mubasir dengan memasukkan anak gak berguna seperti kamu ke sekolah mahal." Ucapnya tanpa menunggu perkataanku selanjutnya.

Aku menghela nafas panjang ketika Ibu keluar dari kamarku dengan membawa kotak berwarna merah, Strawberry.

Strawberry, aku menyukainya. Bentuknya indah, namun rasanya terasa manis dan kecut. Artian itu yang berkeliaran di dalam kehidupanku, orang-orang melihatku hanya dengan tampilan yang indah dan cantik sehingga melupakan semua kekuranganku. Seperti strawberry, tetap banyak pemuja walaupun tahu rasa dari daging di dalamnya. Melupakan kekurangannya.

Aku tidak suka dituntut untuk bisa, aku tidak suka di paksa harus ini dan itu. Berat dan beban yang aku rasa, adikku Doni yang lulus dari sekolah Dasar dan masuk ke salah satu SMP terbaik, dan Kirana kakakku yang lulus dengan nilai terbaik dan diterima di universitas dengan beasiswa prestasi. Aku? Anak tidak ada gunanya yang beruntung terlahir di keluarga serba kecukupan, namun itu semua tetap salah di mataku saat kata tuntutan keluar dari ibuku.

"Ayah," Panggilku dan duduk di dekat pria berumur 35 tahun itu.

Kedua sudutnya terangkat ketika menemukanku yang sudah berdiri di dekatnya lengkap dengan seragam MOS yang sudah di tentukan.

"Sudah siap?" tanyanya dengan tangan terulur mengelus suraiku lembut.

Kedua matanya yang berbinar di balik kacamata minus nya membuatku semakin merasa bersalah, pria ini... Aku tidak tahu apa jadinya aku perempuan berusia 16 tahun apabila tidak menemukan Ayah sepertinya.

Kedua tanganku bergerak memeluk tubuhnya, lenganku dengan kencang Bertautan di punggung yang sepertinya rapuh itu. Entah apa yang aku rasakan, aku tidak mampu berbicara dan menceritakan beban besar itu. Cukup memeluknya aku merasakan hangat, dan terasa sedikit melapukan beban besar seperti batu itu.

°°°

Beauty stress Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang