✏ Tujuh

64 58 35
                                    

Happy Reading 📖
🍓
🎵l like you so much

°°°°

Tanganku bergerak membuka gorden kamarku, kemudian menatap hari yang sedikit mendung di pagi ini. Namun rasanya langit terlihat sangat muram, benar saja. Rintik-rintik air mulai berjatuhan dari langit.

Tidak deras dan tidak gerimis, hanya rintikan biasa. Sepertinya bulan ini sudah memasuki musim kemarau, dan sepertinya hujan ini akan awet.

Kedua bola mataku menatap nanar ke arah tetes demi tetes air yang berjatuhan silih berganti dari atas genting, kemudian entah angin apa yang lewat membuatku langsung teringat perkataan Vita kemarin siang di sekolah.

"Aiden anak nakal, dia kabur dari rumah. Gwe gak lagi nakut-nakutin loe, tapi ini buat jaga-jaga aja... Jangan terlalu dekat dengan Aiden. Gwe dengar-dengar, Aiden sempat melenyapkan nyawa orang." Ucap Vita siang itu.

Kepalaku langsung menggeleng pelan, merasa ganjil kala mengingat perkataan Vita. Namun, apabila melihat reaksi orang-orang yang ngeri melihat Aiden semakin membuat aku percaya kalau Aiden adalah cowok tidak normal.

"Aiden pernah hamilin anak orang, dan nyuruh buat gugurin anaknya sendiri."

"Aiden lebih bajingan dari yang kita pikirkan,"

"Aiden lebih tua dari kita dua tahun, dia seharusnya sekarang kelas tiga namun dia tinggal kelas karena tidak pernah masuk. Maka dari itu, tidak ada kakak kelas yang berani sama Aiden."

"Keluarga Aiden orang-orang berpengaruh, maka dari itu tidak ada yang berani dengan Aiden ... Atau akan berakibat dengan keluarga yang gak bersalah."

Aiden, Aiden, dan Aiden ... Semua berisi kebengisan Aiden. Kehidupan kelam Aiden dengan mudahnya masuk ke dalam ingatanku, dan itu semua membuat aku bingung sekaligus takut. Mustahil, tapi sebuah fakta atau opini yang aku dengar seperti identitas asli Aiden.

'Brakk.. '

Suara pintu dibuka kasar, dan membuat aku yang tengah melamun terlonjak kaget. Aku rasa hidupku memang tidak terlahir dengan sesuatu hal yang bisa aku banggakan untuk melawan orang, di rumah maupun di sekolah aku rasa semuanya sama.

"Heh anak sialan, sedang apa kamu? Sedari tadi dipanggil tidak menyaut?!" mendengar suara ibu seketika aku kembali mengingat apa yang aku lamun kan sampai ibu memanggil pun aku tidak mendengar.

Aku melangkah mendekati wanita yang berstatus sebagai ibuku, kemudian bergumam meminta maaf dan meneliti pakaiannya.

"Ibu mau kemana?" tanyaku melihat ibu sudah rapih, padahal hari ini hari minggu.

"Bukan urusan kamu, kamu beresin semua rumah! Kirana sama Doni gak ada di rumah jadi jangan harap ada yang membantu kamu, pergi ke supermarket beli ini semua." perintahnya menyerahkan selembar kertas yang tertulis beberapa barang yang harus dibeli.

"Satu lagi awas kalau kamu ngadu sama suami saya, besok suami saya akan pulang jadi jangan cari gara-gara." perintahnya lagi dan langsung pergi meninggalkanku sendiri dikamar.

Kedua sudut bibirku terangkat kala mendengar nama ayah yang akan pulang. Sebaiknya aku segera merapihkan rumah dan menyiapkan sesuatu yang spesial untuk kedatangan ayah besok.

Ayah, salah satu pria yang membuat aku bertahan di rumah yang cukup besar ini. Walaupun aku tahu rumah ini tidak pantas disebut rumah olehku, namun tetap saja. Rumahku adalah surgaku, karena di rumah ini aku bisa bertemu Ayah.

"Aw, Kok tambah perih sih?" gumamku sendiri karena telapak tanganku yang memerah, bahkan setelah diolesi salep malah terasa perihnya.

Kulit sensitif, aku tidak suka ini. Hal ini membuat aku sangat terlihat lemah, padahal aku hanya membereskan rumah dan kulit telapak tanganku sudah memerah dan sedikit mengelupas kulitnya.

Beauty stress Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang