✏ Sembilan

57 44 8
                                    

Happy Reading 📖

🍓
🎵Stay with me

••••••

Suasana pagi hari dengan hembusan angin tipis, langkahku berdampingan dengan langkah lebar milik ayah. Kedatangannya ke sekolah tidak aku ketahui, ayah hanya bilang ingin mengobrol dengan wali kelas. Pak Yohan.

"Ayah," panggilku pelan, saat kami mulai menyusuri koordinat yang agak rame.

Bahkan semua siswa-siswi yang sudah sebagian berangkat menatap kami, tatapan yang membuatku tidak suka. Keningku langsung disentil pelan oleh jemari ayah, ayah paham betul tentang ketidak nyamanan yang aku rasakan.

"Apa? Cemburu karena banyak yang lihatin, ayah? Biasalah orang ganteng," tanya ayahku membuat aku memutar bola mata jengah karena mendengar pujiannya.

Tidak heran Doni memiliki tingkat kepercayaan diri di luar batas, ternyata ayahnya juga seperti ini adanya.

Ingat, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.

"Gak usah narsis deh," ucapku menatapnya penuh kesal.

"Emang ayah itu ganteng Camell, Camell pikir kamu dapet wajah cantik seperti itu turunan siapa?" tanya ayahku bertanya seolah-olah ia pria paling ganteng di dunia ini.

Dapat aku lihat tangan ayah bergerak untuk merapikan dasinya yang bertengger di kerah lehernya, terlihat sangat menyebalkan gayanya itu. Tingkat kepercayaan dirinya selalu bertambah berkali-kali lipat sepanjang detik.

"Ayah, disini bukan hanya ayah saja yang ganteng. Lihat dia, ayah melihatnya?" tanyaku menunjuk Aiden yang baru saja keluar dari ruang BK.

Ayah yang melihatnya segera menganggukkan kepala. Secara tidak langsung aku mengakui kegantengan Aiden.

"Dia tak kalah ganteng dari ayah namun, dia itu nyeremin kayak piranha yah," ucapku pelan seperti berbisik.

"Oh ya? Bukankah dia itu Aiden teman kamu itu?" tanya ayahku sambil menaikkan oktaf suaranya, seolah-olah ia memancing Aiden untuk menoleh.

Dan benar saja, dia menoleh saat ayah mengatakan namanya. Oh tuhan, rupanya ayah mencari mati. Salah, bukan ayah yang akan mati tapi aku. Anak upilmu.

Kulihat Aiden tersenyum dan melangkahkan kakinya ke arah kami, kemudian ia menyalimi tangan ayah sopan.

Cih! Ketempelan jin tomang mana dia?

"Pagi om, ada perlu apa kesini?" tanyanya basa-basi seolah olah ia sudah akrab dengan ayah.

"Ini, om mau nganterin anak upil om yang manja ini," jawab ayah sambil mengusap lembut kepalaku.

"Oh, ya? Dia manja?" tanya Aiden sesekali melirik keberadaanku, "Aiden rasa anak upil om itu sangat penakut, cengeng dan satu lagi dia itu sangat ceroboh om." Mataku membola kala mendengarnya berbicara, emang itu semua fakta. Tapi tidak seharusnya dia bilang seperti itu.

Mataku langsung melotot ke arah Aiden, sedangkan ia hanya mengabaikan tatapan yang aku kira sudah sangat menakutkan itu.

"Apa yang loe bicarain?" tanyaku geram pada akhirnya.

Beauty stress Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang