✏Dua

114 98 45
                                    

Happy Reading 📖
🍓
🎵Camellia

••••

"Ibu," teriakku histeris.

Kedua bola mataku membesar ke arah wanita yang kini tengah menenteng sebuah paper bag besar, entah apa isinya. Namun, aku yakin semua barang yang aku takuti keberadaannya ada di dalam sana.

"Ibu apa-apaan sih?" tanyaku mengambil paper bag yang dipegangnya, naas malah terlempar dan berserakan di lantai.

"Anak tidak punya sopan santun," teriaknya tepat di depan mukaku, membuat aku terlonjak kaget.

"Mulai sekarang, jauhi semua barang-barang gak bergunamu itu. Fokus belajar, agar bisa seperti kakak mu itu," ocehnya kembali memasuki kamarku.

Seketika rasa sesak menjalar, selalu dan selalu saja banding-bandingkan aku dan ka kira. Wong kon ngene kok di banding-bandingke..

Walaupun iya benci ataupun gak suka ya udah lebih baik ngatain saja aku, gak usah dibanding-bandingkan itu lebih menyakitkan. Perasaan semua anak itu berbeda-beda, semua anak terlahir memiliki kelebihan masing-masing. Namun sepertinya, aku tidak. Aku merasa tidak memiliki hak istimewa sama sekali, pervillage itu tidak ada pada diriku.

"Ibu mau ngapain?" teriaku menyusul.

Kulihat ibu kini sedang mencopot poster-poster di tembok kamarku, lalu menyobeknya.

"Ibu jangan," aku mengambil poster yang masih di tangannya.

"Heh bodoh, jangan buang-buang waktu untuk hal seperti itu," ku tatap mata ibu yang melotot ke arahku.

Buang-buang waktu? Aku rasa sama sekali tidak, malah hal itu membuat aku tidak terlalu berfikir kalau aku adalah bukan anak darinya.

"Berani kamu menatap saya? Dasar anak sialan," Ia semakin meninggikan suaranya.

Bentakan, aku paling lemah dengan kata itu. Bahkan ibu tahu kalau aku tidak bisa dibentak sama sekali, namun seolah ia tuli dan buta. Ibu memanfaatkan itu.

"Ibu, aku mohon. Aku janji akan rajin belajar, asal ibu jangan membuang semua barang-barang aku," Mataku sudah memanas dan berkaca kaca.

"Jangan sia-siakan uang yang suami saya berikan ke kamu dengan membeli barang-barang gak berguna ini," ucapnya menunjuk barang-barang yang masih berserakan.

"Hiks.. Hiks.. " Aku tidak bisa menahan air mata, kata-katanya terasa menusuk di dada sehingga terasa perih dan sesak. Tidak ada yang beres aku di mata ibu.

"Nangis, nangis terus!" Bentaknya lagi, terdengar sangat menggebu-gebu di telingaku, "Ngadu sana sama ayah tercintamu itu." Sambungnya lagi.

'Brakk..'

Ibu menendang pintu kamarku dan pergi. Pintu coklat tua itu masih bergerak karena tendangan ibu, sampai aku berfikir. Kaki ibu terbuat dari apa?

Tanganku bergerak menghapus air mataku yang luruh melewati pipi, perasaan itu pasti selalu ada. Perasaan di mana aku selalu berpikir, siapa dan di mana ibu kandungku. Aku selalu merasa kalau wanita di rumah ini bukanlah ibu yang aku maksud.

Aku berjongkok di dekat kasur sambil mengambil robekan poster tadi. Ya ampun gwe yang bermodalan poster dan album tanpa bisa menonton langsung konsernya, hanya bisa meneteskan air mata kembali.

Gimana gak nambah nangis coba? Poster D.O satu-satunya dirobek habis, dan Poster EXO yang tinggal tiga lembar disobeknya menjadi dua. Dindingku sekarang polos, seperti orangnya.

Beauty stress Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang