✏ Sebelas

46 34 10
                                    

Happy Reading 📖
🎶 Ruang rindu

°°°°

"Ayah," panggilku keras karena, Ayah pergi menaiki mobil terburu-buru padahal waktu belum menunjukkan jam telat.

Kakiku melangkah kembali ke dalam rumah, tepat di ambang pintu mulutku sedikit terbuka ingin menanyai tentang ayah kepada Ibu yang baru saja keluar dengan tergesa-gesa dari dalam kamar. Namun, tidak jadi karena melihat ekspresi Ibu yang sangat tidak bersahabat, matanya memerah seperti orang habis menangis, wajahnya merah padam, dan tangannya langsung terangkat ketika tepat tiba di hadapanku.

'Plakkk...'

Pertama. Untuk pertama kalinya ibu bermain tangan, semarah apapun ibu ia tidak pernah melakukan hal itu. Namun, untuk sekarang? Kesalahan apa yang aku perbuat? Sampai seorang wanita dengan status sebagai ibuku rela melayangkan tamparannya. Dan itu untuk pertama kalinya selama aku hidup.

"Ibu," teriak Doni dari tengah tangga lengkap dengan pakaian sekolahnya.

Mataku mengikuti langkah lebarnya yang lari dari anak tangga dan berdiri di sampingku, tangannya terulur meraba pipi kananku yang terasa kebas dan ngilu. Ekspresi khawatir milik Doni membuatku tersadar akan alasan terselubung wanita yang kini memberikan tatapan tajam yang sangat tajam. Langsung saja kutepis pelan tangan Doni yang masih di pipiku, kemudian kembali fokus ke arah wajah ibu yang seperti menahan gejolak di dalam dada.

"Camell salah apa, bu?" tanyaku lirih dan menahan air mataku yang sebentar lagi akan tumpah.

Detik itu juga sumpah serapah dan kata-kata kejam dari mulut ibu keluar.

"Anak sialan, Anak kurang ajar! Apa yang kamu aduin sama suami saya hah?!" teriaknya tepat di depan mukaku.

"Ibu, hentikan!" ucap doni menenangkan emosi ibu yang sudah memuncak.

"Lepaskan ibu Doni, ibu akan kasih pelajaran anak sialan ini!!" ucap ibu lagi yang berhasil menarik rambutku.

Tangan Doni bergerak menahan tangan Ibu yang semakin menjadi-jadi menarik rambutku. Perasaanku was-was tidak paham dan tidak bisa mencari titik masalah dari semua ini, entah perasaan dan kemauan dari mana aku hanya diam tidak bisa berontak atas perlakuan ibu. Yang pastinya sangat lah terasa sakit.

Permasalahan apa yang baru saja Ibu dan Ayah bahas sampai-sampai kemarahan yang memuncak dan meledak aku dapatkan? Titik masalah apa lagi yang membuat ibu semenyeramkan ini? Hal apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan huru hara yang setiap detiknya terus menerus meledak?

Ibu? Kenapa sosok wanita ini meninggalkan banyak jejak kebencian untukku?

"Ibu apa-appaan, sih? Jangan kasar gitu dong sama ka Camell." ucap Doni menggertak Ibu yang kini tengah mengatur nafas emosinya yang memburu setelah berhasil melepaskan jambakannya.

Kepala Ibu melirik ke arahku dengan kilatan kebencian, lalu matanya menatap Doni. Ekspresi yang terlihat sangat menyedihkan dan terlihat menahan sakit di salah satu organ tubuhnya. Hatinya, hatinya terasa sangat sakit.

"Kamu gak bakal ngerti apa yang ibu rasain selama ini Doni, kamu gak bakal paham," ucapnya lalu pergi memasuki rumah.

Kalimat apa lagi ini? Air mataku seketika luruh setelah mendengar dan sedikit mencerna semua kalimatnya, bahkan sakit karena jambakan dan tamparan itu belum seberapa. Tapi kalimat dari ibu terdengar . . . Menyakitkan.

"Jangan didengerin omongan ibu kak, ayo Doni anterin ke sekolah." ucap Doni menenangkan dan berjalan menuntun pelan tanganku keluar rumah.

Entah apa yang terjadi dan aku yakin kepergian ayah dan tamparan ibu, itu semua karena kehadiranku. Dapat kurasakan tangan Doni bergerak menghapus pelan air mataku yang sedari tadi menetes, lalu tangannya beralih memasangkan helm bogo ke atas kepalaku

Beauty stress Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang