✏Enam

77 67 40
                                    

Happy Reading 📖
🍓

🎵Ada cinta

°°°°

"Ibu beli semangka gak?" teriak Doni di bawah, yang kupastikan ibu sudah pulang dari supermarket.

Mendengar suara Doni yang menggelegar membuat aku semangat menuruni tangga, kemudian berjalan cepat ke arah dapur dan menghampiri beberapa kantong belanjaan di dekat Doni.

Tangan kiriku meraih kantong belanjaan ramah lingkungan di dekat Doni yang sekarang tengah membelah semangka besar di atas meja pantry, mengarahkan pandanganku ke arah kantong belanjaan yang berisi sayuran. Tidak ada, buah kesukaanku yang rasanya sudah berada di ujung lidah tak kunjung juga aku temui.

"Cari apa, ka?" tanya Doni yang sekarang sudah duduk sambil menikmati sepotong semangka.

"Ibu gak beli strawberry?" tanyaku tanpa membalas pertanyaan Doni.

Ka Kirana yang mendengarnya segera menghampiriku, dan membantu mencari buah kesukaanku itu. Pandangannya juga sama denganku, terlihat bingung lalu menatap wajahku yang sedikit kecewa.

"Tadi kakak udah masukin ke keranjang kok, apa jangan-jangan gak kehitung sama kasirnya ya?" tanya ka Kirana dengan tangan masih mengobrak-abrik kantong tersebut.

Aku yang mendengarnya hanya menghela nafas kasar, pupus sudah harapanku.

"Ibu balikin lagi, lagian buah strawberry sekarang mahal." ucap ibu tanpa menatapku.

Mendengarnya membuat aku sadar diri kembali, kenapa aku selalu berprilaku seperti anak yang baik sih? Padahal aku tahu sendiri kalau ibu tidak pernah suka dan tidak akan pernah.

Seharusnya aku paham betul tentang pengertian ini, aku tidak seharusnya bersikap di luar kendali. Tapi ini di luar kendali. Sikap pilih kasih yang ibu lakukan membuat dadaku nyeri dan sesak, sangat susah untuk menoleransi semuanya.

"Ka, main PS. Yuk," ajak Doni menarik tangan kiriku dengan tangan sebelahnya menenteng sepiring potongan semangka yang sudah dipotong-potong.

Baiklah, sepertinya ajakan Doni sangat menggiurkan. Lupakan buah strawberry! Namun sialnya, hal itu sulit aku lakukan. Karena sedari tadi sore aku sangat menginginkannya, bahkan aku sudah titip pesan ke pada Ibu agar tidak lupa membeli, namun? Wanita itu seperti tidak punya gendang telinga khusus agar tidak mendengar suara yang aku keluarkan.

°°°°

Dua jam sudah berlalu, mataku masih memperhatikan pak Botak dengan kumis tebal yang sedang mengoceh tentang rumus matematika yang sama sekali tidak ingin aku kenal.

Matematika, aku benci kata itu. Satu kata yang memiliki berbagai macam arti luas beserta para rumus yang resmi menjadi musuh sedari kelas empat SD, karena apa? Karena semenjak kelas empat SD itu pelajaran matematika semakin sangat ngelunjak untuk dimengerti.

Aku menggeleng pelan namun tetap mengangguk, ketika pak Dasito selaku guru matematika menanyai kepahaman para murid. Itu yang aku lakukan apabila ditanyai paham atau tidak.

"Aiden." pekik Pak Dasito, sedangkan yang dipanggil masih menenggelamkan wajahnya di atas meja.

'Plakkk... '

Pak Dasito menggebrak meja Aiden yang persis disampingku menggunakan penggaris kayunya, membuat aku sedikit kaget mendengarnya. Mataku melirik ke arahnya, kepalanya sudah berdiri dari persembunyiannya. Kedua tangannya mengucek pelan matanya, guna memperjelas arah pandangannya.

Beauty stress Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang