3.

84.3K 4.5K 10
                                    

Diam-diam gadis itu melangkahkan kakinya pelan-pelan dan sangat hati-hati mendekati kamar yang sedikit terbuka. Mendengar namanya diseret dalam pembicaraan mereka membuat gadis itu kian melebarkan telinganya.

"Kalau mereka tidak mau bagaimana? Apalagi kamu sendiri yang bilang dia menginginkan putri kita." Wanita berambut pirang yang sedikit ikal itu menatap suaminya dengan cemas.

"Mereka pasti mau, aku sangat yakin dengan hal itu, Sayang. Mereka hanya ingin perempuan untuk menggantikan calon istri putranya yang sudah menikah dengan pria lain."

Anastasia, wanita itu otomatis tersenyum saat mendengar penjelasan suaminya itu. Robin ikut tersenyum kemudian memeluknya.

Gadis yang sedari tadi berdiri di balik pintu itu langsung merasa sesak. Mereka benar-benar akan menikahkannya dengan pria yang ditinggal kekasihnya. Evelyn mendorong pintu perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. Kedua orang yang tengah berpelukan itu langsung bangkit berdiri dan menatap marah gadis itu.

"Apa aja, apa aja, Pa, aku mau turutin asal jangan nikahin aku. Aku nggak mau nikah, Pa, apalagi sama orang yang nggak aku kenal," ucap gadis itu memohon dengan suara bergetar.

Gadis itu langsung terduduk sambil menangkup wajahnya yang sudah basah. Isakan memilukan memenuhi ruangan bernuansa putih itu. Evelyn semakin terisak saat kedua orang di hadapannya itu tetap saja bergeming.

"Apa aja kamu mau?" tanya Robin sambil berjongkok.

Evelyn mengangguk. Ia segera menghapus jejak airmatanya dengan cepat. Seolah ada harapan bahwa pernikahan itu akan dibatalkan. Apa pun Evelyn lakukan agar dirinya tidak jadi menikah dengan pria itu.

"Nanti malam kamu siap-siap ikut dengan saya," ucap pria itu tersenyum licik.

Gadis itu mengangguk. Ia tidak akan menikah dengan pria yang malang itu. Itu kabar baik yang dia inginkan.

"Makasih, Pa." Ia hendak memeluk pria itu namun, pria itu menolak.

Evelyn segera keluar dari sana setelah pria itu menyuruhnya.

Anastasia menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. Seakan mengerti tatapan istrinya itu, Robin berkata, "Aku yakin dia memilih tawaranku yang pertama."

Bukannya mengurangi kebingungan yang ada dalam pikirannya, kalimat itu justru menambah tanda tanya dalam kepalanya. "Dia mau kamu bawa ke mana?"

Robin tersenyum tipis. Senyum licik yang selalu ia tampilkan saat sedang melakukan rencana yang selalu menguntungkannya. "Margareth."

"Kamu memang suamiku yang paling cerdik, Robin." Senyum Anastasia ikut terukir.

***

Evelyn mengikuti kedua orang yang membawanya masuk ke sebuah ruangan yang sangat sepi, berbeda sekali dengan tempat yang ia lalui sebelumnya yang seperti lautan manusia.

Evelyn mengamati setiap sisi ruangan itu dengan penuh kekaguman. Ini pertama kalinya ia dibawa oleh ayahnya ke suatu tempat yang lebih baik dari gudang di rumah mereka.

"Margareth, ini Evelyn. Kau pasti sudah tahu namanya, kan?" Robin menunjuk Evelyn. 

Mendengar dirinya diperkenalkan, gadis itu langsung menarik kedua sudut bibirnya membentuk garis lengkung yang indah. Ia menatap kagum perempuan di hadapannya yang tampak cantik dengan pakaiannya yang terlihat mahal.

"Kamu cantik sekali, Evelyn. Robin kau memang hebat," ucap wanita itu teramat bahagia.

"Tak perlu berlama-lama, Margareth, berapa yang kau sanggup?"

Wanita dengan bibir berwarna merah itu tertawa pelan. "Kau sungguh tidak sabaran, Robin."

Ia mengamati gadis yang tampak cantik dengan dress berwarna soft pink yang dipinjamkan Jessie, kakaknya.

"Dua ratus."

Evelyn mulai merasa ada yang aneh saat ini. Ia merasa dirinya dibawa ke dalam hal yang sama sekali tidak diinginkannya. Ia mulai mencermati dengan penuh perhatian maksud pembicaraan mereka.

"Murah sekali! Dia berbeda dengan yang lain. Dia masih perawan."

Wanita itu kembali tertawa. Ia menyentuh dagu yang bentuknya sedikit runcing milik gadis itu. Evelyn menghempaskan tangan wanita itu secara kasar. Degup jantungnya mulai tak beraturan.

"Asal kau tahu itu sudah harga yang paling tinggi yang pernah aku tawarkan."

"Pa!!!" teriak Evelyn terengah-engah.

Ia tahu ke mana arah pembicaraan mereka. Ia tahu mengapa ia dibawa ke tempat seperti ini. Ia tahu kenapa Maura mendadaninya dengan cantik malam ini. Ia tahu kenapa Robin mau membatalkan rencana untuk menikahkannya.

Nafas gadis itu saling kejar-kejaran. Ini lebih parah dari semalam.

"Bukan ini yang aku mau, Pa." Evelyn menangkup wajahnya, menumpahkan semua emosinya. "Aku nggak mau, Pa."

Tubuh gadis itu bergetar hebat. Sepintas bayangan tentang dirinya yang mungkin sebentar lagi akan tidur di tempat mahal untuk memuaskan nafsu laki-laki yang kaya raya. Evelyn menggeleng, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Lebih baik ia mati saja.

"Dua kali lipat. Aku akan menyerahkannya jika kau berani dengan harga itu." Robin segera beranjak dari duduknya. Ia memaksa Evelyn untuk segera bangkit dan berjalan terburu-buru bersamanya.

Namun sebelum mereka mencapai pintu, wanita itu berkata, "Bawa saja dia pulang. Aku sudah tak berniat dengannya, masih banyak perempuan di luar sana."

Wajah laki-laki itu merah padam. Ia mencengkram kuat tangan gadis di sampingnya.

"Ayo pergi," desis laki-laki itu.

*** 

Tbc.

Vote & comment ya biar author semangat update  <3

I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang