8.

79K 4.7K 31
                                    

Kalau kalian suka dengan cerita ini, bantu share ke sosial media kalian dan jangan lupa tag fayannacrystal. thank you all.

***

Evelyn membaca berulang kali pesan yang dikirimkan ayahnya. Laki-laki yang telah membuatnya menjadi istri dari seorang pria yang tidak pernah menganggap ada keberadaannya, sekarang justru memintanya untuk menguras harta pria itu.

Evelyn meletakkan kembali ponselnya. Ia tidak akan melakukan hal itu, Sean benar-benar tidak akan memaafkannya. Sekarang tempatnya bukan lagi di rumah mereka tapi di sini, bersama suaminya. Laki-laki yang akan mempertanggungjawabkan dirinya.

Dering ponselnya berbunyi menampilkan satu panggilan masuk dari ayahnya. Ragu-ragu gadis itu menjawabnya.

"Kamu kenapa nggak balas pesan saya?! Sementang sudah menikah dengan orang kaya, sekarang sudah lupa sama keluarga. Ingat sama kami, kalau kami biarin kamu di pinggiran jalan sana jadi gembel, kamu tidak mungkin ada di posisi sekarang." Pria itu mencerca dengan luapan emosi.

Evelyn meneguk salivanya susah payah. "Maafin aku, Pa."

"Kami di sini butuh uang lebih. Jangan lupa nanti sore datang ke rumah bawa uangnya. Anggap aja ini balas budi kamu kepada kami yang udah mau besarin kamu yang bukan bagian dari keluarga ini."

Sambungan terputus. Evelyn terduduk di pinggir tempat tidur. Meski ia sudah lama mengetahui bahwa ia bukanlah anak kandung dari mereka, tapi Evelyn sungguh berharap bahwa mereka menganggapnya sebagai anak. Bukan menjadikannya tumbal ke sana sini.

Teringat permintaan pria itu untuk membawakannya uang telah membuat kepala Evelyn berdenyut. Bagaimana mungkin Sean akan memberikannya uang untuk keluarga istri yang sama sekali tidka dicintainya. Laki-laki itu hanya memberikannya jatah yang sangat pas-pasan untuk kebutuhan dapur. Tidak berlebih sama sekali.

Evelyn tidak punya pilihan lain. Ia harus kembali bekerja di tempatnya dulu. Mungkin bosnya mau memberikan gajinya di muka. Evelyn hanya bisa berdoa semoga kali ini takdir tidak membuatnya kesusahan seperti waktu-waktu lalu.

***

Satu tamparan keras mendarat di pipi gadis itu. Tubuhnya oleng mendapat perlakuan kasar tiba-tiba dari pria berusia setengah abad di hadapannya. Tatapannya nanar dan sebelah tangannya bergetar meraba pipinya yang terasa panas dan sakit. Satu buliran membasahi pipinya tanpa bisa dicegah. Evelyn menahan isakannya sekuat mungkin.

"Apa cuma segini yang bisa kamu berikan? Kamu pikir segini buat apa?" Satu tangan pria itu menjambak kasar rambutnya, sementara tangan lainnya menunjukkan nominal yang diberikan putri angkatnya.

Evelyn diam tak ingin membuka suaranya sedikit pun. Ia tahu apa yang akan diucapkan olehnya pasti akan selalu salah di telinga pria itu. Ia tak mau pria itu menghajarnya lebih lagi.

"Kacang lupa kulitnya." Maura melirik sinis pada Evelyn. Ia beserta adik dan ibunya cukup menikmati pertunjukkan yang sudah lama tidak disaksikan.

Jessie menimpali ucapan kakaknya. "Mentang-mentang udah jadi istri orang, lupa deh sama keluarga sendiri. nggak inget siapa yang nolongin dia dulu."

Di sisi lain anastasia sama sekali hanya diam menyaksikan perlakuan kasar suaminya kepada Evelyn. Ia membiarkan suami dan anak-anaknya yang menghajar gadis itu. Ia sendiri terlalu malas untuk mencampurinya. Suami dan anak-anaknya juga sudah cukup memberikan hukuman pada gadis itu.

"Telpon suamimu, minta dia kirim uang. Kalau nggak kamu akan tahu akibatnya." Robin menghempaskan tubuh Evelyn ke lantai.

Buru-buru Evelyn mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Sean. Sayangnya pria itu sama sekali tidak menjawab panggilannya. Evelyn sebenarnya sudah menduganya, Sean tidak mungkin mengangkat telponnya dan lagipula itu lebih baik. Ia tidak tahu harus bagaimana mengatakannya pada Sean kalau orangtuanya membutuhkan uang dari laki-laki itu.

"Nggak diangkat, Pa. Mungkin lagi sibuk," cicit Evelyn setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Ia menatap Robin takut, pria itu terlihat sedang murka.

Sepersekian detik kemudian, Evelyn merasa tubuhnya dipaksa berjalan ke arah belakang. Sontak pikiran negatif langsung memenuhi kepalanya. Ia tidak ingin merasakan hal yang sama di tempat kotor dan gelap itu.

Dengan sekuat tenaga Evelyn menghempaskan tangannya. Gelengan kecil dan tatapan nanar ia tujukan kepada Robin. Pria itu kembali menariknya dan menghempaskan tubuhnya kasar. Air mata Evelyn mengalir dengan deras ketika pria itu meraih cambuk yang di gantung di dinding. Evelyn mundur perlahan. Wajahnya semakin pucat dan ketakutan ketika Robin tersenyum licik padanya.

"Pa, aku mohon jangan gini. Aku usahain, Pa, asal papa jangan hukum aku," mohon Evelyn berderai air matanya.

Ia memanggil kedua kakaknya dan ibunya. Sayangnya, meski ketiga perempuan itu datang, tapi mereka tidak berniat menolongnya. Hanya membiarkan dirinya berteriak kencang setiap kali rasa sakit itu menyapa kulitnya.

Evelyn terduduk lemah. Membiarkan robin melampiaskan amarahnya pada tubuhnya. Semua perlawanan yang dilakukannya tidak membuahkan hasil sedikit pun. Ia menutup mulutnya rapat-rapat agar jeritannya tidak keluar.

Pintu terututup dan dikunci setelah ayah angkatnya itu puas melihatnya terluka. Evelyn sama sekali tidak beranjak dari lantai yang dingin dan kotor. Pelan-pelan ia meluarkan ponselnya. mengetikkan sebuah pesan kepada suaminya. Entah Sean akan membacanya atau tidak, setidaknya Evelyn sudah berusaha memberitahu bahwa hari ini ia menginap di rumah orang tuanya.

tbc.

Vote & comment ya biar author semangat update <3

Follow juga akun wp FayannaCrystal biar ga ketinggalan info update

I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang