9.

77.2K 4.7K 25
                                    

Evelyn sudah berdiri cukup lama di depan ruangan kerja suaminya. Gadis itu memilin ujung bajunya. Rasa gugupnya membuatnya selalu mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu itu. Gadis itu akhirnya memberanikan diri setelah mengatur napasnya.

Tangannya sudah terangkat untuk mengetuk, tapi belum sampai bersentuhan dengan pintu itu, sean sudah lebih dulu membukanya. Evelyn menatapnya terkejut. Sebaliknya sean justru menatapnya abai dan dingin. Laki-laki itu beranjak dari sana tanpa memedulikan Evelyn.

Evelyn memandang kepergian sean dengan kecewa. Gadis itu bahkan merasa suaminya tidak menganggapnya ada. Satu fakta yang membuatnya selalu takut berbicara dengannya.

Namun, ancaman robin sebelum ia kembali ke rumah ini membuat gadis itu harus berbicara dengan suaminya. Evelyn sedikit berlari mengejarnya.

"Mas Sean," panggil Evelyn.

Sean mendengarnya, tapi memilih untuk diam.

Sampai di depan kamar mereka dan ketika Sean hendak menutupnya, Evelyn menahan gagang pintu. Laki-laki itu menatapnya dengan sorot tajam yang siap untuk menusuknya.

Evelyn menelan ludahnya kasar dan mendorong pintu. "Ada yang pengen aku omongin, Mas," ucap Evelyn dengan menahan rasa gugupnya.

Sean melipat kedua tangannya di depan dada dan itu membuatnya terlihat semakin seksi. Tubuh tingginya dan otot bisepnya membuat kaum hawa ingin menjerit dan menyentuhnya. Berada di pelukan laki-laki itu mungkin akan menjadi hal yang paling menyenangkan.

Namun, Evelyn punya pandangan berbeda. Tubuh sean seakan menjadi peringatan padanya untuk tidak bermacam-macam dengan laki-laki itu. tangan besar pasti dengan mudah mematahkan lehernya. Evelyn menahan napasnya. Rasa sesak itu kembali menyergapnya.

"Apa?" Sean bertanya setelah beberapa detik hanya dihabiskan dengan keheningan.

Evelyn menunduk menatap kaki kecilnya. "Aku butuh uang," cicitnya.

"Untuk apa?" tanya sean.

"Papa sekarang lagi susah, Mas."

Sean berbalik membuat Evelyn segera mengangkat wajahnya.

"Itu bukan urusanku."

Evelyn menatapnya kecewa. Ia terlalu berharap bahwa Sean mau membantunya. Evelyn mengusap sudut matanya yang tiba-tiba basah saat bayang-bayang penyiksaan itu memenuhi kepalanya. Tubuhnya sedikit bergetar.

"Aku pinjam aja kalau gitu, Mas. Aku nggak tega lihat papa kesusahan."

Sean tak menggubris laki-laki itu sudah berbaring di atas tempat tidurnya dengan punggung membelakangi Evelyn yang masih berdiri di ambang pintu.

"Mas Sean," panggil Evelyn sembari mendekat ke arahnya.

"Berisik! Aku mau tidur."

Evelyn tersentak. Tubuhnya mundur beberapa langkah. "Mm, iya, Mas. Maaf udah ganggu."

Evelyn kemudian keluar dari sana dan masuk ke kamar di lantai bawah tempat ia tidur. Gadis itu tak bisa tenang. Sean satu-satunya orang yang ia percaya mau membantunya di saat seperti ini ternyata bersikap sama dengan teman-temannya. Sama sekali tidak mau menolongnya sedikit pun.

***

Dering ponselnya yang berkali-kali sama sekali tak membuat Evelyn beranjak dari tempatnya. Gadis itu menatap cemas ke arah benda persegi itu.

"Halo, Pa." Evelyn akhirnya menjawab panggilan itu.

"Kenapa belum dikirim juga?"

Evelyn tahu apa yang dimaksud ayahnya. Hal itu membuatnya secara tak sadar menggigit bibir bawahnya. "Uangnya belum ada, Pa."

Di seberang sana, Robin mengumpatnya habis-habisan. Laki-laki itu mengatainya sebagai anak yang tak berguna. Evelyn lantas memejamkan matanya. Rasa sakit itu kembali menyergap dadanya.

"Evelyn usahain secepatnya ya, Pa. Papa sabar."

Evelyn menutup teleponnya setelah ayahnya lebih dulu memutuskannya. Ia mendesah kecewa, tapi juga merasa sedikit lega.

Saat menyiapkan sarapan untuk sean, Evelyn masih berharap laki-laki berubah pikirannya. Namum, sepertinya itu adalah sebuah harapan kosong. Sean bahkan tak mau meminjamkannya untuk sedikit saja.

"Kalau gitu, aku boleh kerja nggak, Mas?" tanya Evelynn.

Sean menatapnya untuk sekilas. "Terserah."

"Makasih, Mas."

Untuk hal ini ternyata ia tidak dikecewakan. Sean memberinya izin dan itu membuat Evelyn merasa senang luar biasa. Ia bisa mengumpulkan uang untuk ayahnya.

***

"Laras, aku nggak masalah dapat bagian apa aja. Aku mohon bantuin aku," ucap Evelyn pada gadis sebaya yang duduk di hadapannya.

Laras—gadis yang merupakan satu-satunya teman SMAnya yang dekat dengannya itu mendesah. "Jadi Office Girl, lo beneran mau?"

Evelyn mengangguk bersemangat. Namun, Laras justru menepuk keningnya. Rasanya tidak percaya bahwa Evelyn benar-benar menerima pekerjaan yang dianggap rendah itu.

"Velyn, lo itu menantunya pemilik perusahaan yang cukup besar. Lo nggak perlu kerja, lo tinggal minta ke suami lo yang kaya itu."

"Seandainya Mas Sean beneran mau ngasih, aku nggak akan seputus asa ini. Lah, dia boro-boro mau ngasih, aku minjem aja nggak dikasih."

Laras memandangnya iba. Kenapa gadis sebaik Evelyn harus dihadapkan dengan orang-orang yang kejam dan tak berperasaan. Ia tersenyum miris. Apa seumur hidup, sahabatnya itu akan selalu hidup dibawah tekanan orang-orang yang menjadikannya alat kebahagiaan mereka.

"Kenapa sih, lo mau aja nurutin kemauan bokap lo? Lo harusnya nggak usah takut dengan mereka lagi, lo punya keluarga baru sekarang. Mereka bisa bantu lo. Gue nggak suka lihat lo harus kayak gini terus. Sekali-kali lo harus lawan bokap lo." Mata Laras sudah berkaca-kaca. Nada suara gadis itu terdengar begitu lirih.

Evelyn segera membuang pandangannya ke arah lain. Dada gadis itu merasa sangat sempit dan membuatnya kesulitan bernapas. Rasa sakit yang sudah biasa ia rasakan.

"Seandainya aja aku bisa, aku bakal lawan. Tapi apa, Ras? Aku sedari kecil banget udah dikasarin terus sama papa. Bayang-bayang dia yang nyiksa aku selalu buat aku ketakutan. Aku nggak bisa tenang. Aku lebih baik main aman aja."

Laras meremas rambutnya. Rasanya tidak rela mendengar Evelyn rela melakukan perintah mereka. Rasanya juga tidak rela jika gadis itu tak pernah lagi tersenyum lepas. Bahkan, suara tawanya saja Laras tidak tahu.

"Anggap aja aku balas budi kepada orang tuaku." Evelyn menambahi.

Kalau sudah begitu Laras pun tak bisa lagi menghalanginya. "Ya udah. Besok lo mulai kerja dan datang lebih awal."

Evelyn tersenyum lebar dan beranjak dari tempat duduknya. Ia segera memeluk satu-satunya orng yang paling mengerti dirinya.

"Makasih banyak, Laras."

Laras tersenyum. namun, hatinya justru menangis. Evelyn tersenyum lebar hanya untuk itu meski ia sudah menjadi bagian dari keluarga kaya di kota ini.

tbc. 

Vote & comment ya biar author semangat update  <3

Follow juga akun wp FayannaCrystal biar ga ketinggalan info update

I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang