15.

84.2K 4.5K 113
                                    


Paginya Evelyn terbangun. Ia masih menemukan dirinya di pelukan suaminya. Pria tampan itu masih tidur. Bahkan, hanya dengan keadaan seperti itu Sean masih terlihat memukau.

Evelyn mengulurkan tangannya bernjat untuk menyentuh rahang tegas itu. Sayangnya, Evelyn tak punya keberanian sebesar itu.

Sean membuka matanya perlahan.

"Morning," sapanya.

"Morning, Mas Sean." Evelyn tersenyum.

Sean memposisikan tubuhnya di atas Evelyn. Adiknya kembali bangun.

Evelyn meneguk ludahnya.

"Satu ronde sebelum ke kantor?" Tanya Sean.

Evelyn mengangguk. Sean mulai menciumnya. Membelai setiap jengkal tubuhnya. Dan menggoda yang di bawah sana.

Permainan pria itu di pagi benar-benar luar biasa. Evelyn berusaha menyeimbanginya, namun tetap saja Sean yang lebih banyak mengambil alih.

Ia menatap istrinya Setelah puas melampiaskan hasratnya. Perempuan itu menatapnya dengan sudut mata berair. Sean mengusapnya dengan ibu jarinya.

"Masih sakit?"

Evelyn menggeleng. Ia sudah terbiasa berbohong soal rasa itu. Selalu mengakh baik-baik saja dengan keadaanya yang paling lemah.

Sean menggendongnya Dan membawanya ke bathtub. Memposisikan dirinya di belakang tubuh istrinya.

Sean terus menciumi tengkuk perempuan itu. Aroma tubuhnya membuatnya mabuk. Sean menyukainya.

Pria itu menatap punggung polos yang di sana terdapat beberapa bekas seperti luka panjang.

"Ini apa?" Sean bertanya sambil menyentuh bekas-bekas itu.

Evelyn menundukkan kepalanya. Luka-luka selama ini ternyata belum sembuh sepenuhnya.

"Bukan apa-apa kok, Mas." Lagi-lagi ia berbohong.

"Sakit?"

Evelyn menggeleng. Sekarang memang rasanya tidak sesakit ketika luka itu ditorehkan ke punggungnya.

"Kamu tetap minum pil pencegah kehamilan kan?"

"Iya, Mas."

"Jangan sampai hamil, ya. Aku nggak mau."

Suara perempuan itu tercekat. Ia tidak bisa berkata-kata. Sejelas itu Sean menunjukkan bahwa pria itu tidak menginginkan keturunan darinya.

***

"Mas Sean, Aku boleh minta tolong?"

Perempuan itu berdiri di sana dengan tangan yang meremas pakaiannya.

Sean berada di ruang kerjanya. Malam ini pria itu sibuk menyelesaikan pekerjaannya.

Pria itu melepaskan kaca matanya. Menatap istrinya sekilas.

"Minta tolong apa?" Sean kembali sibuk memperhatikan berkas-berkas di atas mejanya.

Evelyn menarik napas dalam-dalam. Ia takut Sean kembali menolaknya.

"Papa lagi butuh uang—"

"Nggak." Sean memotongnya cepat.

Evelyn mematung di sana. Harusnya memang ia tak perlu berharap lebih kepada suaminya. Meski Sean memperlakukannya dengan lembut ketika mengajaknya berhubungan, tapi ternyata itu bukan pertanda bahwa ia menerima Evelyn.

Evelyn semakin tersadar. Sebanyak apa pun malam panas yang mereka lewati, pria itu hanya menganggapnya partner seks. Hanya sebatas itu.

"Keluarga kamu ya urusan kamu," tambah Sean.

I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang