1.

125K 6K 30
                                    

Pranggg.

Entah sudah beberapa kali pria berpakaian lengkap dengan jasnya itu memecahkan koleksi vas dan guci milik ibunya. Ia memasuki kamarnya dan mendaratkan tinjuan pada kaca lemarinya. Tak peduli seberapa banyak darah yang keluar dari tangannya, karena yang ia inginkan adalah sebuah pelampiasan. Pria itu mengepalkan kedua tangannya membuat bercak kemerahan menodai lantai mengkilap itu.

Langkahnya besar menuju nakas dengan sebuah foto yang membuat darahnya mendidih. Diambilnya foto itu untuk diamati dengan rinci. Namun di sepesersekian detik berikutnya, benda persi itu sudah bernasib sama dengan barang-barang mahal sebelumnya. Hancur. Sama seperti hatinya.

"Sean!" pekik seorang wanita yang berdiri di depan pintu kamarnya. wanita itu masih mengenakan kebayanya berwarna pastel. Dengan cepat ia menghampiri laki-laki yang sudah nyaris gila itu.

Dia menatap sosok pemilik tubuh proporsional itu dengan sedikit mendongak. Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir tipis miliknya, namun wanita di depannya tahu dengan jelas perasaan terluka yang ditunjukkan kedua mata berwarna hitam itu.

"Jangan melukai dirimu sendiri, Sean," ucap wanita itu lalu meraih tangan kanan sang adik yang penuh warna darah itu.

Sean, laki-laki itu masih diam tanpa ada sedikit pun niat membalas ucapan Agatha. Ia membiarkan dirinya dibawa ke sofa, dan dengan perlahan Agatha mengobati luka-luka yang membuatnya ngilu.

"Sudah selesai. Istirahatlah di kamar bawah, biar kamar ini dibersihkan dulu." Agatha menutup kembali kotak p3k.

Sean lagi-lagi membiarkan dirinya dituntun, tak ada perlawanan seperti tadi. Setelah mengantarkan Sean ke kamar kosong yang biasanya dipakai tamu mereka saat menginap, dia kembali ke ruang keluarga.

Keluarga besar mereka tadinya berkumpul di sana saat ia sedang mencari keberadaan Sean. Namun sekarang hanya ada empat orang disana. Kedua orangtuanya, Reno sang kakak laki-laki, serta Adam suaminya.

Bahkan beberapa menit setelah ia ikut bergabung bersama mereka, tidak ada satupun yang memulai untuk bicara. Semuanya diam dan larut dalam arus pikirannya masing-masing.

Hingga akhirnya Marvel, ayahnya buka suara. "Keluarga kita sudah dipermalukan. Papa malu, malu sekali." Pria yang sudah beruban itu tampak begitu murka.

"Lihat kan, Papa sudah bilang perempuan pilihan Sean itu bukan perempuan yang punya akal dan pikiran. Tapi kalian tetap saja mendukungnya dengan perempuan itu. Sekarang kita semua menanggung akibatnya."

Semua yang mendengar itu semakin menunduk. Tidak akan ada yang berani melawan ucapan pria yang paling dihormati di keluarga mereka. Tidak akan ada. Untuk sekedar menatap matanya pun mereka tidak akan mampu.

Pria itu bangkit dari sofa tunggal berwarna maroon itu. "Pertunangan ini boleh gagal, tapi pernikahan harus tetap berlangsung. Keluarga kita sudah terlanjur menyebar undangan. Papa tidak mau dipermalukan untuk yang kedua kalinya."

Setelah mengatakannya pria itu kemudian pergi meninggalkan mereka yang semakin larut dalam pikirannya. Pertunangan yang harusnya terjadi justru gagal dan berujung pada permasalahan saat ini.

Reno memperhatikan satu per satu mereka. sebagai anak laki-laki tertua di keluarga ini tentu ia mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyelesaikan kekacauan ini.

"Kita nggak mungkin menikahkan Sean dengan calon tunangannya yang ternyata sedang menikah hari ini. Kita harus cari perempuan lain untuk menjadi pengantin wanitanya Sean. Dan Sean harus mau," ucap Reno pada semuanya. Ia yakin ini hal yang harus dilakukan oleh mereka. Adiknya tidak punya pilihan selain untuk menerima.

"Gimana kalau nanti Sean menolak pernikahan itu? Dia bisa melakukan apa saja untuk menolaknya." Adam sudah lama mengenal sosok Sean yang keras kepala.

"Sean memang bisa melakukan apa saja untuk menolak pernikahan itu, tapi papa lebih bisa melakukan apa pun. Kehendak papa itu mutlak, kita semua tahu itu," jawab Reno.

I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang