Kesan Pertama
_“Ada yang bilang kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terpesona.”_
***
Riuh anak-anak kampung yang pulang ke rumah masing-masing saat telah lelah bermain, menyapa ujung senja yang semakin berlalu ke peraduan cakrawala. Sayup terdengar selawat dari musala pertanda magrib akan segera tiba.
Di antara gaduh dan semakin menyepinya sore itu, seorang wanita muda berusia 22 tahun tengah asyik menyirami bunga. Dari bibirnya terulas senyum dengan nyanyian yang remang. Meski tak semerdu Nissa Sabiyan, selawat yang ia lantunkan cukup renyah terdengar di telinga.
“Mau aku bantu?” tawar laki-laki bernama Dendi yang saat ini telah berdiri di samping gadis berjilbab biru terang itu. Dendi telah siap salat magrib dengan mengenakan baju koko dan sarung.
Wanita itu hanya menggeleng dan melanjutkan lantunan selawatnya. Dendi bergeming di tempat menikmati wajah cantik di depannya yang sedang asyik bercengkrama dengan tanaman hias miliknya. “Jangan terlalu asyik bercengkerama dengan alam, sudah saatnya merayu sang pemilik alam. Bentar lagi magrib, Dik. Baiknya kamu siap-siap salat,” saran Dendi.
“Nanggung, Mas. Tinggal bunga Dahlia ini aja yang belum kusiram, entar dia cemburu sama yang lain,” Wanita muda yang bernama Zahira itu terkekeh dengan candaannya sendiri.
“Ya udah, lanjutin dulu. Mas tunggu di musala,” ucap Dendi sambil berlalu.
Azan magrib berkumandang memecah kesunyian di ujung senja yang sebentar lagi tertelan malam. Saat itu Zahira telah selesai menyirami bunga-bunganya. Sedikit tergesa Zahira ke pancuran membersihkan diri dan segera berwudu. Ia merasa tak enak jika sampai magribnya terlambat. Mengingat tadi Dendi sudah mengingatkan untuk segera bersiap-siap.
Musala itu berada di depan rumahnya, tepatnya di sudut kanan jalan desa yang baru diaspal setahun lalu. Zahira meletakkan sandal di pojokan, agar tidak bercampur dengan sandal lainnya. Di musala hanya ada beberapa jamaah yang sudah biasa salat di sana. Salah satunya dirinya dan Dendi serta dua orang anak tetangga. Satu lagi ibu dari anak-anak itu dan suaminya.
Dendi bersiap menjadi imam setelah iqamah dikumandangkan oleh Reza, salah satu anak tetangga sebelah. Sekali lagi Dendi menengok ke belakang memastikan makmum telah siap dan tersenyum ketika melihat Zahira telah berada di barisan makmum perempuan.
Zikir masih menggema dalam musalla setelah salat magrib selesai. Hingga Dendi mengakhiri dengan doa. Tepat setelah itu Zahira menghampiri Dendi yang telah memegang mushaf di tangannya. “Mas, aku pulang dulu sebentar, mau mempersiapkan perkuliahanku besok.”
“Tidak bisakah kamu menunggu sampai setelah isya? Baiknya kamu ngaji dulu agar diberi kelancaran besok,” ucap Dendi tegas.
Zahira cukup terkejut dan merasa malu mendengar perkataan Dendi. Ia terpecut dengan apa yang diucapkan Dendi semua benar. Dirinya terlalu tergesa-gesa dan bersemangat sehingga menyampingkan urusan akhirat dan mendahulukan urusan dunia. Padahal ia tahu jika kita mengedepankan urusan akhirat maka dunia akan mengikuti dengan mudahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩)
Teen FictionTidak ada persahabatan seorang laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya salah satu atau keduanya jatuh cinta. Setelah menikah dengan Dendi, Zahira melanjutkan kuliahnya yang sempat cuti. Siapa sangka dia akan bertemu Rafdan-adik tingkatnya. Dengan...