~ Bab 16 ~

33 3 0
                                    

Retakan  Hati

"Aku telah telanjur menaruh hati padamu. Dari itu aku juga menghancurkan hatiku sendiri. Meski telah berupaya membuatnya utuh kembali, tapi tak semudah merekatkan cangkir yang terbelah."

(Rafdan Rais Sasongko)

***

Rafdan menyusuri pantai seorang diri. Ia sengaja mencari tempat sepi agar dirinya dapat sedikit tenang. Setelah mengetahui status Zahira yang merupakan istri Dendi, Rafdan tidak tahu harus ke mana ia mengobati hatinya.

Rafdan terus saja berjalan dan memandangi ombak yang bergulung ke tengah kemudian kembali lagi ke tepian. Gemuruh ombak tak sedahsyat hatinya yang terluka. Mentari semakin tenggelam ke ufuk membiaskan mega jingga. Sedangkan angin berembus semakin kencang. Rafdan duduk selonjor di pasir memperhatikan arak-arakan awan di langit.

Tiba-tiba Rafdan bangkit mengepal tangannya kuat-kuat. Kemudian ia berteriak sangat kencang. Dengan begitu Rafdan berharap ganjalan di dadanya sedikit berkurang. Tidak ada yang menyaksikan adegan itu. Hanya langit yang bertambah kelam turut membuat sendu suasana hati  Rafdan.

"Tuhan, andai saja aku tidak bertemu Zahira. Mungkin hatiku takkan sesakit ini." Rafdan menatap langit yang kosong.

Angin yang berembus tak mau berkompromi, ia seolah menggigit kulit Rafdan hingga menggigil. Rafdan bersedekap mengusir dingin yang mulai menusuk. Ia biarkan anak rambutnya melambai di terpa angin sore.

Rasanya ingin saja Rafdan  menyatu dengan alam. Mengabarkan pada bulan yang mulai mengintip malu bahwa hatinya tersayat-sayat. Bercerita pada mega yang mulai memudar jingganya bahwa meski dirinya terluka tak pernah berkurang cintanya pada Zahira.

Ingin ia merajuk pada semesta meminta waktu berputar kembali ke masa lalu. Kemudian mempertemukan dirinya dengan Zahira sebelum wanita itu bertemu Dendi. Sungguh akan sangat indah dalam bayangan Rafdan.

Kemudian Rafdan kembali ke alam sadar. Ia telah menemukan dirinya telentang di pasir yang semakin dingin. Rafdan bangkit, menggeleng keras mengibaskan isi kepalanya yang semakin kacau. Sepertinya ia telah tersesat dalam perasaannya sendiri dan lupa cara kembali.

"Tuntun aku ke jalan yang engkau ridhoi, Tuhan. Sungguh aku telah dibutakan cinta dan jatuh dalam kubangan rasa yang mengiris dadaku sendiri," gumam Rafdan dengan lirih sembari mendongak ke  langit.

Kemudian Rafdan bangkit, sekali lagi menatap hamparan air laut yang sejak tadi semakin pasang." Bawalah cintaku bersama ombakmu," seru Rafdan kepada laut yang membisu.

Rafdan melangkah dengan gontai menyusuri pantai. Menuju musala yang tadi sore ia pakai untuk salat ashar sebelum bercengkerama dengan laut dan ombaknya. Magrib akan segera tiba itu tandanya kewajibannya sebagai seorang makhluk harus ditunaikan.

Sebelum Rafdan meninggalkan tempat itu sekali lagi ia melihat papan nama di tepi musala. Di sana tertera 'Kondang Merak'. Rafdan akan selalu ingat tempat ini sebagai saksi bisu hancurnya hati. Bagaimana ia bercerita kisahnya pada laut. Mungkin lain waktu ia harus mengunjungi tempat itu lagi. Kemudian ia pulang masih dengan luka yang sama.

Rafdan melirik jam di tangannya saat telah selesai memarkir motor di tempat indekosnya. Tepat jam 20.45 WIB dan sebentar lagi gerbang akan ditutup oleh Ibu Irma. Rafdan bergegas menuju kamar sebelum kepergok dengan Ibu Irma. Pasti Ibu Irma akan heran dan bertanya melihat keadaan Rafdan yang lusuh penuh pasir.

Segera ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah cukup merasa segar kembali Rafdan membaringkan tubuhnya yang sangat penat. Ia telah bisa tidur dengan nyenyak sebab tadi sudah salat isya' di musala dekat pantai.

Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang