Membuka Hati
"Menyoal cinta yang bertepuk satu tangan, aku harus bisa merelakannya pergi. Melepaskan meski belum sempat kugenggam. Perkara hati yang selalu kukejar dan semakin berlari menjauh, sudah saatnya untuk berhenti. Sebab diri juga butuh bahagia."
(Arini Muaddah)
***
Arini tersenyum getir mengingat semua apa yang telah ia perjuangkan selama ini. Mengejar cinta yang semakin menjauh. Sedangkan cinta itu sendiri mati-matian mengejar cinta lain.Tiba-tiba deringan ponsel membawanya kembali ke dunia nyata. Arini mengusap layar pipih itu. Tertera panggilan dari Karmila.
Karmila mengajak Arini bertemu di kafe yang telah ia sebutkan alamat dan nama kafenya. Arini setuju sebab hari ini kebetulan dirinya ada jam kosong. Lagi pula Arini ingin mengempaskan perasaan tak nyaman yang selalu mengganggu benaknya.
Karmila menyambut Arini di depan pintu kafe. Alunan lagu dari Exist yang berjudul 'Buih Jadi Permadani' menyapa indera pendengaran mereka. Di sisi kanan telah duduk Nando yang langsung melambai ke arah Karmila dan Arini.
"Sudah lama nunggunya?" tanya Karmila kepada Nando.
"Enggak, baru saja, kok," jawab Nando santai sambil mengaduk minuman jeruknya.
Karmila duduk di depan Nando, begitu pun Arini. Dia duduk di sebelah Karmila berhadapan tepat di depan Nando. Sekilas, Arini menatap Nando. Pria itu terlihat berbeda dari biasanya. Ia berpenampilan lebih macho dengan setelah kaos lengan panjang warna abu berkerah, celana jeans membalut kakinya yang kekar.
Arini melirik Karmila, gadis itu juga berdandan lebih cantik dari biasanya. Celana pensil dipadu dengan tunik panjang selutut. Warna ungu muda sangat cocok dengan kulit Karmila yang kuning langsat.
Arini menatap dirinya di layar ponsel, penampilan ala kadarnya yang bisa dikatakan acak-acakan. Sejak Rafdan lebih gigih mengejar Zahira, Arini sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya. Ia merasa kalah sebelum berperang dan akhirnya menyerah. Kekalahan telak berada di pihaknya.
"Kalian curang, ngajak ke sini, kok nggak bilang dari awal. Aku terlihat kucel sendiri," ucap Arini jujur.
Nando mendongak, menatap Arini inten, "Siapa bilang kamu kucel? Udah cantik, kok."
Karmila mengangguk setuju dan mengacungkan kedua jempolnya di depan wajah Arini. Arini mengerucutkan bibirnya tak percaya dengan ucapan Nando dan hadiah jempol dari Karmila.
"Kok cemberut?" goda Karmila sambil mengambil ponsel di meja.
Karmila mengambil ponsel di meja dan mengusap tombol kamera. Kemudian mengambil gambar mereka berdua dengan sekali jepretan. Karmila memperlihatkan hasilnya pada Arini.
''Nih, kalo nggak percaya. Cantik 'kan?" puji Karmila jujur.
Arini melirik malas pada foto yang diperlihatkan Karmila. Namun, Karmila tidak bohong, meski ia merasa berpenampilan kucel, akan tetapi tetap terlihat lebih cantik dari Karmila. Arini berpikir kenapa Rafdan tidak pernah jatuh hati padanya. Padahal wajahnya tidak kalah cantik dengan Zahira.
Arini menggelengkan keras, menepis pikiran yang menjalar semakin jauh. Sudah saatnya ia membuka mata dan hati untuk orang lain. Ia sudah berusaha ikhlas.
"Kamu kenapa?" tanya Nando khawatir melihat Arini.
"Nggak papa," Arini melirik Nando kemudian beralih menatap Karmila.
Menurut Arini, Karmila sangat beruntung bisa mendapatkan Nando yang cukup tampan juga. Tiba-tiba melintas dalam pikiran Arini, dulu Nando pernah memberinya sinyal bahwa dia suka. Namun, Arini telanjur buta oleh perasaan. Ia selalu mengabaikan sinyal dari Nando.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩)
Novela JuvenilTidak ada persahabatan seorang laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya salah satu atau keduanya jatuh cinta. Setelah menikah dengan Dendi, Zahira melanjutkan kuliahnya yang sempat cuti. Siapa sangka dia akan bertemu Rafdan-adik tingkatnya. Dengan...