Bab 36

26 2 0
                                    

Bersemilah Cinta

"Semua jalan yang aku lalui takkan lepas dari takdir-Nya. Aku hanya tinggal menjalani dan bersyukur atas semua yang telah terjadi hari ini, esok dan nanti."

(Zahira Khairin Nisa)

***

Masih jelas terngiang di telinga Zahira ucapan Umi Heni. Kemudian wajah Kiki bergelayut dalam benaknya. Wajah cantiknya, kelembutannya dan dia masih belia tentunya.

Hati Zahira terasa panas. Api cemburu telah membakarnya. Sebenarnya ini bukan salah Rafdan, akan tetapi entah kenapa Zahira menghukum Rafdan yang tidak tahu menahu permasalahannya. Pun bukan salah Kiki. Lalu, siapa yang harus disalahkan dari terlukanya hati?

Apakah keadaan yang salah? Atau waktu yang salah? "Kamu kenapa?" selidik Rafdan memindai inten wajah Zahira.

Zahira akhirnya luluh juga melihat wajah Rafdan yang sedih. Ia tak tega melihat kegundahan Rafdan yang kebingungan atas sikapnya yang bisa dikatakan cukup aneh.

"Benar kamu ingin menemaniku?" tanya Zahira basa-basi agar Rafdan tidak curiga dengan perubahan sikapnya.

"Iya, dong. Aku 'kan calon suamimu. Mana mungkin meninggalkanmu saat sakit begini." Rafdan menjelaskan maksud kedatangannya.

Zahira mengangguk dan tersenyum. Sudah saatnya ia mempercayai Rafdan. Meski kepercayaanya pada cinta pernah ternoda, tapi alangkah lebih baik jika ia mulai belajar membangun rasa percaya itu lagi. Toh, sekarang cintanya untuk orang lain. Bukan orang yang telah menodai kepercayaan itu sendiri.

"Umi, Karmila aku mau bicara sama dia," ucap Zahira menunjuk pada Rafdan.

Umi dan Karmila mengangguk mengiyakan. Tepat saat itu seorang perawat datang memeriksa infus Zahira dan menanyakan beberapa hal tentang keluhannya dan karena sudah tidak ada keluhan, maka perawat membuka infus di tangan Zahira atas dasar perintah dokter.

Dibukanya infus membuat Zahira bebas bergerak. Perawat menyarankan agar Zahira mulai menggerakkan otot-ototnya dengan berjalan di sekitar kamar. Perlahan Zahira turun dari ranjang dan menapakkan kakinya di lantai dengan dibantu Rafdan.

"Kami keluar dulu, Mi," pamit Zahira.

Perawat yang membuka infus pun pamit dan masuk ke ruangan yang lain. Zahira dan Rafdan berjalan pelan di koridor. Mereka berhenti saat sadar mereka telah berjalan cukup jauh dari kamar.

Zahira duduk di kursi panjang yang berjejer rapi di sepanjang rumah sakit. Setelah sebelumnya ia mengintip kamar di belakangnya yang kosong. Tidak ada pasien di sana. Jadi tempat itu lumayan sepi. Hanya ada beberapa pengunjung rumah sakit yang lewat di situ. Zahira tidak ingin mengganggu pasien lain. Oleh karenanya dia memilih duduk di depan kamar yang kosong.

Rafdan duduk di samping Zahira berjarak dua jengkal. Setelah berdua saja, susah rasanya bagi mereka untuk mengawali pembicaraan. Mereka masih sedikit canggung.

Saat keheningan mulai mengusik mereka, Zahira menoleh dan hendak mengatakan sesuatu dan bersamaan dengan itu Rafdan pun menoleh ke arah Zahira. Mata mereka bertubrukan dan saling memandang untuk sekian detik. Jantung mereka berpacu lebih cepat. Gemuruh dalam dada melantunkan aliran rasa yang tidak dapat dimengerti benak.

Zahira mengurungkan ucapannya dan kembali memandang lurus. "Mau ngomong apa?" tanya Rafdan dengan suara lembut. Lembut sekali sehingga telinga Zahira hampir tidak mendengarnya.

"Lupa sudah," jawab Zahira jujur.

"Kok bisa lupa?" Rafdan kini jadi penasaran.

"Iya, salahnya kamu liatin aku." Zahira merutuk dirinya sendiri sebab terlalu jujur mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Rafdan tersenyum dan kembali menatap Zahira. Wanita yang dulu ia kejar-kejar dan hampir putus asa sebab telah menjadi milik orang lain. Namun, cintanya tak bisa padam untuknya. Kini, bidadari itu tepat di depannya dan sebentar lagi akan menjadi makmumnya.

Rafdan jadi teringat sesuatu. "Oh, ya. Kita belum menyebut panggilan sayang. Emmmm, gimana kalo aku panggil kamu Dinda," Rafdan menatap mata Zahira meminta persetujuan.

Zahira tersenyum dan mengangguk tanda setuju. "Aku sendiri harus manggil apa?" tanya Zahira yang merasa kesulitan harus memanggil Rafdan dengan sebutan apa. Pasalnya mau memanggil Rafdan dengan sebutan Mas Rafdan, Zahira merasa canggung karena dirinya lebih tua dari Rafdan.

Tampak Rafdan berpikir, keningnya sedikit berkerut. "Panggil sayang saja," ucap Rafdan kemudian.

"Ndak ah, malu." Spontan Zahira menolak.

"Kok malu? Sayang ndak sama aku?" Rafdan mulai menggoda Zahira.

Zahira melebarkan matanya karena kesal telah digoda Rafdan. Tiba-tiba Rafdan menautkan tangannya di jemari Zahira. Zahira yang kaget hendak menarik tangannya, tapi cepat Rafdan mencegahnya.

"Biarkan begini dulu, sudah lama tangan ini ingin aku genggam." Rafdan semakin mengeratkan genggamannya. Menautkan jemarinya di sela-sela jemari Zahira.

Zahira tidak bisa menolak lagi. Hanya gejolak di dadanya menciptakan perasaan damai dan tentram saat tangan itu bertaut. Kehangatan tubuh Rafdan seperti mengalir pada tangannya dan mengalir ke seluruh nadi Zahira.

"Aku mencintaimu, Dinda. Sangat mencintai," ucap Rafdan yang membuat tubuh Zahira terasa semakin menghangat.

"Terima kasih telah mencintaiku." Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Zahira.

"Apakah Dinda juga mencintaiku?" Rafdan meremas jari Zahira pelan seolah meminta kepastian.

Sejenak, Zahira menelan salivanya yang terasa kering. Hatinya masih berkecamuk. Semudah itukah ia mengumbar cinta. Ah, Zahira bingung. Sedangkan, hatinya terasa nyaman saat bersama Rafdan. Pria itu sukses mencuri cinta Zahira.

"Tentu saja," ucap Zahira memantapkan hati. Ia telah mengambil keputusan untuk mengganti nama Dendi menjadi Rafdan.

"Terima kasih, tapi aku tidak bisa mendengar kamu cinta apa ndak sama aku." Rafdan kembali menggoda Zahira.

"Maksudmu?" Zahira bingung maksud Rafdan.

"Kamu belum bilang cinta sama aku, Sayang." Rafdan melepas satu tangannya dan menoel hidung Zahira.

Wajah Zahira spontan memerah dan menoleh ke kanan-kiri takut ada orang lewat yang melihat ulah Rafdan. "Jangan gitu, ah. Aku malu tahu." Zahira menyembunyikan wajah diantara jilbabnya yang menjuntai.

"Iya, maaf. Dinda makin cantik saat tersipu," goda Rafdan yang dihadiahi cubitan oleh Zahira di pinggangnya.

Tiba-tiba Zahira seperti tersadar sesuatu dan segera menarik tangannya yang masih digenggam Rafdan. "Kita ndak boleh gini, loh," ucap Zahira mengingatkan.

"Sekali saja, Dinda. Setelah ini aku nggak akan mengulanginya lagi." Rafdan menarik kembali tangan Zahira dan menautkan di jemarinya yang hangat.

"Cukup, Raf-- eh," Zahira berhenti sejenak. Berpikir harus memanggil Rafdan dengan sebutan apa. "Aku panggil Mas Saja dah," ucap Zahira kemudian.

"Boleh." Rafdan kembali meremas jari Zahira yang langsung ditarik oleh Zahira.

Rafdan menyerah. Ia juga merasa bersalah telah menyalahi aturan agamanya."Maaf, Dinda. Aku tidak bisa menahan diri," ucap Rafdan menyesal.

"Maka dari itu sebabnya kita tidak boleh berdua saja," Zahira bangkit dan menuju ke kamar. Di sana, Umi dan Karmila telah menunggu. Barang-barang sudah dikemas. Tinggal menunggu dokter  agar bisa pulang.

Karmila menarik turunkan alisnya menatap Zahira. Sesekali Karmila melirik Rafdan dan beralih ke Zahira. Melihat ulah Karmila yang sengaja menggodanya, Zahira gemas dan spontan menoel pinggang Karmila cukup keras. Karmila mengaduh kesakitan dan tepat saat itu dokter datang.

Bersambung....


Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang