~Part 14~

34 3 0
                                    

Gejolak Rindu

"Kusangka gejolak itu takkan separah ini. Saat perlahan engkau berlalu pergi. Biarkan aku tetap mencintaimu dalam diam. Ijinkan aku tetap merindumu. Dalam gemuruh yang terus meriuh dalam gejolak yang semakin memberontak. Hingga rasa ini telah mendobrak seluruh isi dadaku."

(Rafdan Rais Sasongko)

***

Rafdan menatap sendu deretan motor di parkiran. Sudah beberapa hari ini ia menunggu Zahira di sana. Tidak ia lihat motor Zahira sama seperti sebelumnya. Hingga motor terakhir telah di bawa pemiliknya. Tersisa motor Rafdan sendiri.

Rafdan memutar kepalanya, menelisik tempat itu sekali lagi. Berharap wanita yang ia cari tiba-tiba muncul di sana. Namun, nihil, tidak ada Zahira di tempat itu. Setelah sebelumnya Rafdan telah mendatangi kelas Zahira dan bertanya pada Keysa. Keysa bilang Zahira kuliah, akan tetapi selalu pulang terburu-buru.

"Ada apa nyari Zahira? Mau minta tolong apa lagi?" tanya Keysa penasaran.

"Nggak, kok. Ada yang ingin aku bicarakan," ucap Rafdan berbohong.

Keysa mengedikkan bahunya kemudian meninggalkan Rafdan. Rafdan kembali ke tempat parkir dengan kecewa. Menunggu lagi Zahira di sana hingga akhirnya tetap harus menelan kecewa.

Rafdan melangkah gontai menuju motornya. Menaiki kendaraan kesayangannya dan hendak melajukannnya. Aksinya terhenti saat terdengar suara memanggil namanya dan menoleh ke arah suara.

"Raf--" terlihat Arini dari arah belakang berjalan tergesa-gesa ke arahnya.

Rafdan memarkir motornya kembali, "Jam segini kok masih ada di sini?" selidik Rafdan sedikit heran.

"Kamu sendiri ngapain di sini?" Arini balik bertanya.

"Aku masih ada urusan," jawab Rafdan berbohong. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya pada Arini.

"Aku juga masih ada urusan tadi. Oh ya, kebetulan, nih. Sekarang kamu ikut aku, ya," pinta Arini penuh harap.

"Ke mana?" tanya Rafdan malas. Sebenarnya ia ingin segera sampai di rumah. Badan dan pikirannya terlalu penat.

"Ayok, ikut aja," Arini mulai merajuk.

"Aku lelah, pengen cepat pulang dan mandi," jawab Rafdan jujur. Berlama-lama di parkiran membuat badan Rafdan gerah.

"Sebentar saja, kok. Mau, ya?" Arini menyunggingkan senyum semanis mungkin.

Rafdan tak tega jika harus menolak. Terpaksa ia mengangguk setuju. Arini mengajak Rafdan berjalan menyusuri trotoar di depan kampus. Rafdan berjalan gontai di samping Arini. Meski malas melandanya kali ini ia harus pasrah dengan ajakan Arini.

"Masih jauh, kah?" tanya Rafdan yang merasa kakinya sedikit pegal. Bukan karena berjalan bersama Arini. Namun, sebab mencari Zahira tadi.

"Sudah deket. Ke rumah makan Papaku saja, kok." Arini melirik Rafdan.

"Kenapa nggak naik motor saja?" protes Rafdan.

"Aku 'kan nggak bawa motor. Memangnya kamu mau bonceng aku?" Arini menatap Rafdan di sampingnya. Rafdan tersenyum mendengar ocehan Arini.

Lagi-lagi Arini terpukau dengan senyuman itu. Ia harus segera menelan salivanya yang tiba-tiba mengering. Sedangkan jantungnya mulai berdetak tak beraturan. Ingin rasanya Arini tak melepaskan senyuman itu. Membungkusnya dengan apa saja yang bisa ia bawa pulang nanti.

"Iya, aku lupa itu," ucap Rafdan setelahnya.

"Lagian aku suka begini. Kalau jalan kaki, kita bisa jalan berdua sambil ngobrol," kelakar Arini yang di sambut kekehan kecil Rafdan.

Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang