~Part 11~

38 4 0
                                    

*Menahan Luka*

“Berada dalam kondisi yang tidak pernah diinginkan memang menyiksa. Lantas adakah semua kenyataan selalu terjadi sesuai keinginan kita? Aku hanya mencoba menjalani kehidupan dengan wajar. Berusaha meraih apa yang aku inginkan. Meski terkadang semua berbalik dari semestinya. Benar hatiku tak sekokoh karang akan tetapi aku membangunnya setegak Eiffel.”

 

(Rafdan Rais Sasongko)

 

***

Rafdan membanting tubuhnya di kasur. Dadanya seperti akan meledak saja. Pemandangan tak sedap tadi sore sangat mengganggunya. Pikirannya bertambah kacau. Pikiran positif yang ia pupuk menguap seketika. Berkali-kali Rafdan  mencoba menghirup oksigen dalam-dalam. Mengembuskan lagi perlahan. Sesaknya belum juga hilang.

Rafdan semakin gusar, Membalik-balikkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Mencoba mengenyahkan rasa yang tengah menyiksanya. Otaknya berpikir keras apa yang harus ia lakukan agar panas hatinya mereda. Rafdan teringat Nando mungkin ia bisa membantunya.

Segera Rafdan mengambil ponsel yang sebelumnya ia lempar ke kasur. Jemarinya lincah menggeser kursor dan lekas menemukan nomor kontak yang ia cari. Menelepon si empu nomor. Tak harus menunggu lama, terdengar suara Nando yang berat dari seberang.

“Hallo, tumben, nih nelpon. Sudah rindu aku, ya?” ledek Nando.

“Terima telepon pake salam, kek. Eh, ni anak malah nyerocos nggak karuan.” Rafdan sedikit kesal dengan keusilan Nando.

Meski begitu temannya yang satu itu selalu siap sedia membantu saat ia dalam kesulitan. Nando terkekeh dari seberang. Sedikit batuk, kemudian nyerocos lagi dengan segala keusilan dan sok tahunya yang selangit.

“Kamu sakit?” tanya Rafdan khawatir.

“Nggak juga, cuma sedikit masuk angin. Angin di sini nakal. Pake dingin segala, tapi tenang saja, cowok tangguh kayak aku nggak akan tumbang terkena angin.” Nando semakin terkekeh dengan kelakarnya sendiri.

Rafdan hanya menggeleng mendengar ocehan Nando. “Sebenarnya aku rencana mau ngajak kamu keluar, tapi karena kamu sakit ya sudah nggak jadi.

“Hey, siapa bilang aku sakit? Aku hanya masuk angin. Cus kita mau ke mana? Ngomong-ngomong kebetulan aku memang lagi bete, nih.” Nando meyakinkan Rafdan kalau dia baik-baik saja.

“Baiklah, kita ketemu di pertigaan tempat biasa,” ucap Rafdan kemudian menutup telepon.

Rafdan segera bangkit dari kasur, menepis malasnya yang sejak tadi bertengger. Ia masih teringat ucapan Nando bahwa dirinya tidak boleh jatuh dalam cinta dan ia telah berjanji pada Nando bahwa dirinya akan membangun cinta bersama Zahira.

Teringat ucapan Nando, tidak ada alasan lagi bagi Rafdan untuk bersedih sebab melihat Zahira dengan laki-laki lain. Apalagi belum jelas siapa sebenarnya pria yang bersama Zahira. Bisa jadi dia saudaranya. Lagi-lagi Rafdan mengumpulkan pikiran-pikiran positif. Menepis pikiran negatif yang hanya membuat hatinya kacau.

Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang