~Part 18~

23 1 0
                                    

Sepenggal Harapan

"Aku hanyalah pencintamu yang takkan mungkin memilikimu. Meski demikian dari lubuk terdalam kuharap Tuhan berbaik hati padaku dengan menyatukan kita."

(Rafdan Rais Sasongko)

***

Semakin hari, Zahira semakin menjauhi Rafdan. Bukan hanya menghindar, ketika tak sengaja bertemu, wanita itu segera pergi. Rafdan hanya mendapat pilu mendapat kenyataan yang demikian.

Miris sekali kisah cinta yang ia alami. Bukan hanya bertepuk sebelah tangan, akan tetapi tak bisa berjuang sebelum berperang. Cinta memang rumit. Tak ada logika yang mampu menalar. Otak pun tak bisa mencerna dengan baik.

Haruskah Rafdan menyerah kepada nasib? Sedangkan hatinya masih menyenandungkan Zahira seorang. Meskipun Nando telah berusaha membantunya melupakan Zahira dengan mengenalkan beberapa teman perempuan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh sama sekali.

"Hai kawan! Dunia terus berjalan. Tak mendapatkan seorang Zahira kalo kamu mau bisa dapatkan seribu perempuan lebih dari Zahira." Begitu nasihat Nando sangat gemas melihat keadaan Rafdan yang semakin terpuruk.

"Mudah saja bagimu mengatakan itu sebab kamu tidak pernah mengalaminya, " bela Rafdan.

Rafdan salah besar, sebelum Rafdan mengalami ini jauh sebelumnya Nando telah tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang dan tidak bisa memilikinya. Masih segar dalam ingatan Nando bagaimana ia harus berpisah dari Dewi- pacarnya. Ia harus rela melepas Dewi hanya karena dijodohkan dengan oleh orang tuanya.

Memang benar sekarang bukan zaman Siti Nurbaya, akan tetapi perjodohan semacam itu masih ada. Dewi harus menikah muda dengan anak sahabat ayahnya yang jauh lebih tua darinya. Dewi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti kemauan kedua orang tuanya.

Akhirnya Nando dan Dewi harus berpisah meski mereka saling mencintai. Meskipun cerita Nando dan Dewi tak sama persis dengan cerita Rafdan dan Zahira, akan tetapi Nando sama-sama merasakan sakitnya kehilangan.

Tentu lebih miris nasib Rafdan yang harus kehilangan sebelum memiliki. Akan tetapi kehilangan seorang kekasih dan berpisah sebab keadaan, itu bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, Nando terus berusaha menghibur Rafdan agar bisa bangkit.

"Kamu salah! Sebelum kamu mengalami ini, aku sudah pernah merasakannya. Memang sulit untuk bangkit, tapi kamu harus bisa. Aku yakin jika kamu berusaha pasti bisa." Nando meninju pelan bahu Rafdan dan tersenyum penuh percaya diri.

Rafdan menoleh, ia ragu apakah perkataan Nando jujur atau hanya sekadar omong kosong dengan tujuan menyemangati dirinya? Dari raut Nando, Rafdan melihat pancaran ketulusan dan kejujuran.

Sebenarnya Rafdan ingin bertanya lebih jauh tentang masa lalu yang dimaksud Nando. Akan tetapi sekarang hati Rafdan terlampau lelah. Selain itu Rafdan juga tidak mau mengorek masa lalu Nando yang kelam sebab itu hanya akan membuka luka lama.

Lalu kedua pemuda itu menyusuri koridor menuju kelas. Tak sepatah kata terucap dari keduanya. Mereka sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. Di depan kelas seorang wanita manis berdiri di depan pintu menunggu Rafdan.

Siapa lagi kalau bukan Arini yang selalu berusaha mencuri hati Rafdan. Apalagi setelah ia tahu Zahira telah bersuami. Hal itu menambah kegigihannya untuk mendapatkan cinta Rafdan.

"Pagi-pagi kok sudah kusut?" tegur Arini setelah kedua pemuda itu hendak masuk kelas.

"Kusut dari mana? Ini sudah mandi, kok," kilah Nando tersenyum tipis.

"Mandi sih iya, tapi wajah kalian tuh kayak kurang disetrika aja." Arini memindai wajah Rafdan.

Rafdan tersenyum kecut. Sebenarnya ia malas menanggapi Arini, akan tetapi ia juga tak enak hati jika mengabaikannya. "Jangan menatapku begitu! Aku sudah mandi, kok," ucap Rafdan sambil berlalu masuk.

Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang