Bab 37

23 1 0
                                    

Berdamai dengan Hati

"Sejatinya luka itu hanya tercipta dari diri sendiri. Bagaimana kita membuat hati sendiri nyaman."

***

Ponsel Rafdan bergetar beberapa kali. Rupanya telepon dari Umi Heni. Rafdan masih sibuk meletakkan barang-barang bawaan dari rumah sakit tadi. Setelah selesai, Rafdan segera mengambil ponsel yang ia letakkan di meja ruang tamu dan menelepon Umi Heni untuk memberinya kabar.

Zahira duduk di kursi bersebelahan dengan Rafdan. Meskipun Umi Fatma dan Karmila menyuruhnya untuk istirahat, tapi Zahira sudah capek berbaring terus. Lagi pula dirinya sudah sehat.

"Aku telpon Umi dulu, ya. Mungkin dia ingin tahu keadaanmu," ucap Rafdan sambil mengusap layar pipih canggih itu.

Tak perlu menunggu lama panggilan telepon dari Rafdan segera tersambung. Terdengar Umi Heni menanyakan keadaan  Zahira kemudian juga Rafdan. Entah sebab apa, Rafdan mengubah sambungan telepon menjadi panggilan video.

Setelah panggilan video tersambung, tampak Umi Heni sendang di dapur membuat sesuatu. "Umi mau bicara sama Zahira?" tanya Rafdan mengarahkan ponselnya ke Zahira.

Saat itu Umi Fatma dan Abi Zainal sudah ikut nimbrung di ruang tamu. Zahira tersenyum saat wajah Umi Heni terlihat di layar telepon. Umi Heni meletakkan  tepung di tangannya.

"Umi buat kue, ya?" tanya Zahira berusaha mengakrabkan diri.

"Iya, ini musala dekat rumah akan  ada acara khataman. Jadi, Umi mau nyumbang," jawab Umi Heni.

"Iya, Mi. Coba Zahira dekat. Pasti tak bantu, Mi," ucap Zahira tulus.

"Iya, terima kasih. Umi sudah ada yahh bantuin, kok." Umi Heni menyorot ponselnya ke arah berlawanan. Di sana terlihat seorang gadis sibuk membuat adonan kue. Zahira terkejut karena gadis itu adalah Kiki.

Sedekat itukah Kiki dengan keluarga Rafdan? Apakah Rafdan juga dekat dengan Kiki? Wajah Zahira berubah tak nyaman, meski demikian ia berusaha tersenyum.

Umi Fatma dan Abi Zainal tersenyum karena mereka tidak tahu tentang Kiki. Rafdan pun semringah dan terus mengobrol dengan Umi Heni lewat panggilan video. Hanya Zahira yang merasa kesal dengan obrolan itu.

Apalagi saat Umi menyorot kan ponselnya ke arah Kiki. Gadis itu turut serta dalam obrolan dia keluarga itu. Dada Zahira serasa sesak saat Kiki bertanya keadaan Rafdan dan mereka berhadapan meski hanya lewat dunia maya.

Sepuluh menit akhirnya aobrolan video berakhir sebab Umi Heni harus melanjutkan pekerjaannya membuat kue. Tak ada yang tahu sesaknya dada Zahira dengan obrolan itu. Semua menganggap itu biasa saja. Begitu pun Rafdan.

Sayup terdengar suara azan duhur di masjid. Rafdan bergegas memenuhi panggilan Tuhan. Salat di masjid yang terletak cukup dekat dengan rumah orang tua Zahira.

Zahira pun masuk kamar untuk merebahkan tubuhnya. Ia belum sepenuhnya sehat. Sedangkan Abi dan Umi Faisal ke masjid bersama Rafdan.

Zahira mengajak Karmila menemaninya di kamar. Namun, Karmila juga ingin segera pulang. Seperginya Karmila, Zahira berniat untuk tidur, tapi entah mengapa otaknya terus berputar. Semua kejadian yang ia alami menjadi permasalahan yang bertubi-tubi.

Zahira berusaha memejamkan mata. Ia balikkan badan ke kanan dan kiri untuk mencari posisi yang nyaman agar bisa terlelap. Hingga lima belas menit berlalu. Matanya belum bisa terpejam.

Sampai akhirnya sebuah ketukan pintu yang cukup keras membuat Zahira terkejut. Zahira mengira mungkin itu adalah Rafdan. Pasalnya pintu rumah tidak dikunci sehingga tidak mungkin Abi dan Umi mengetuk pintu.

Dengan agak malas Zahira bangkit dari kasur. Mengambil jilbab di belakang pintu dan keluar. Suara pintu kembali diketuk dengan keras membuat Zahira sedikit gemas.

"Sebentar!" Suara Zahira sengaja ditinggikan agar terdengar ke luar.

Saat Zahira membuka pintu, seorang wanita menggendong anak kecil berusia sekitar 2 tahun telah berdiri dengan wajah tidak bersahabat. "Mana Dendi?" tanya wanita itu yang tak lain Amelia.

"Kamu ndak salah nanyanya ke sini?" Zahira balik bertanya karena kesal dan menganggap Arini salah alamat.

"Eh, jangan coba-coba berpikir bisa ambil suamiku, ya!" Suara Amelia membuat anak dalam gendongnya terbangun.

Anak itu merengek minta turun. Mungkin dia capek. Bocah laki-laki itu juga tak segan bermain di teras rumah Zahira. Dunia anak-anak memang berbeda, dia mana tahu jika ibunya saat ini sedang marah kepada pemilik rumah.

Zahira tak tega melihat anak kecil lucu yang secara tak langsung terlibat dalam percekcokan itu. Sebisa mungkin Zahira memelankan suaranya agar anak itu tidak takut. Zahira juga berusaha menahan amarah yang bergolak di dadanya. Tak sepantasnya anak kecil menyaksikan pertengkaran orang tuanya.

"Dendi tidak ada di sini," ucap Zahira.

"Jangan bohong! Aku tahu kamu masih mengharapkan Mas Dendi. Makanya kamu berusaha memisahkan kami," hardik Amelia seolah tak memedulikan anak kecil itu yang menatap ke arahnya karena suaranya yang tinggi.

"Kamu tidak sadar, ya. Siapa di sini yang merebut suami orang? Aku sudah melepasnya. Dan Aku berterima kasih karena dengan begitu kamu telah memberitahuku bahwa Mas Dendi bukan laki-laki yang setia. Jangan-jangan sekarang Mas Dendi bersama perempuan lain," cerocos Zahira yang tidak dapat lagi menahan emosinya.

Amelia tak dapat menyangkal ucapan Zahira. Namun, sebab gengsinya tidak ingin kalah dari Zahira."Awas saja jika Aku melihat Mas Dendi ke sini," ancam Amelia sambil menggendong anaknya yang tengah asyik bermain.

"Ada apa ini?" Abi Zainal yang pulang dari masjid bersama Umi Fatma dan Rafdan terkejut dengan keributan di rumahnya.

Amelia tak mengindahkan pertanyaan dari Abi Zainal. Kemudian ia pergi dengan tergesa. Menyisakan keheranan Abi Zainal, Umi Fatma dan Rafdan.

"Bukankah dia Amelia?" tanya Rafdan memastikan. Zahira mengangguk.

"Sebaiknya kita bicara di dalam. Tidak enak dilihat tetangga." titah Abi Zainal.

Di ruang tahu, Abi Zainal dan Umi serta Rafdan menanyakan perihal kedatangan Amelia. Zahira pun menceritakan maksud kedatangan Amelia.

Abi Zainal menghela napas. Ia tak habis pikir, Dendi dan keluarganya masih saja mengusik kehidupan putrinya. Padahal, Zahira sudah cukup mengalah dengan melepas Dendi untuk Amelia.

"Kamu yang sabar, ya, Nduk. Ini union yang harus kamu hadapi. Kamu harus kuat. Begitu juga Nak Rafdan. Mungkin ini ujian menjelang pernikahan kalian. Kalian harus sama-sama kuat," nasihat Abi Zainal kepada Zahira dan Rafdan.

"Jangan dengarkan omongan orang. Kalian harus saling percaya," sela Umi Fatma. Ia juga khawatir tentang permasalahan baru akan mengancam hubungan Rafdan dan Zahira.

"Terima kasih, Abi dan Umi atas nasihatnya. Insyaallah saya percaya  pada Dinda Zahira," ucap Rafdan yang tak segan lagi memanggil Zahira Dinda.

Mendengar ucapan Rafdan, Zahira merasa tertampar. Bagaimana mungkin dirinya meragukan Rafdan sebelumnya. Sedangkan Rafdan sangat mempercayainya. Sungguh tidak adil bagi Rafdan.

Zahira bertekad mulai saat ini dirinya akan terus menjaga kepercayaannya pada Rafdan. Pun masalah Umi Heni dan Kiki biarlah dia selesaikan sendiri dengan berdamai pada diri sendiri.

Bersambung....


Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang