Bab 40

115 5 0
                                    

Pernikahan yang Dipercepat

"Aku selalu percaya Tuhan memberikan yang terbaik untuk hambanya. Hanya saja terkadang Dia menyelipkannya lewat luka. Agar manusia belajar kuat dan pandai bersyukur."

***
Zahira cukup direpotkan dengan pertanyaan yang beruntung dari Arini, Keysa, Nando serta Kak Ronald. Mereka seperti pendemontrasi yang meminta hak gaji.

Gemas karena Zahira tidak memberikan jawaban yang memuaskan, Keysa menyeret Zahira ke kantin. Diikuti oleh Arini, Nando dan Kak Ronald. Mereka penasaran dengan keputusan Zahira dan Rafdan yang akan segera menikah.

"Za--apa kamu benar-benar bunting?" tanya Keysa sembarangan.

"Ish, jangan sembarangan, ya. Kami memutuskan menikah bukan karena itu." Zahira mencebik kesal.

Arini, Nando dan Ronald manggut-manggut. Namun, mereka belum menemukan jawaban. "Apa karena kalian udah nggak bisa nahan?" seloroh Nando terpingkal.

Zahira melotot, kemudian kembali mencebik sebal. Kini mata Zahira menatap Nando dan Arini bergantian. Kini gilirannya untuk menggoda keduanya.

"Jangan katakan kalau kalianlah yang udah nggak nahan. Atau-- Arini sudah bunting?" goda Zahira yang sukses membuat Arini malu bercampur kesal.

"Sudah-sudah, sekarang Zahira bisa katakan kenapa kalian langsung berencana menikah? Kukira nunggu kamu wisuda atau bahkan Rafdan kerja." Kak Nando menengahi.

"Jadi begini teman-teman. Aku sama Mas Rafdan mempercepat pernikahan karena kami khawatir jika berlama-lama tunangan malah batal. Itu saja pertimbangan kami." Zahira memindai satu persatu wajah teman-temannya guna meyakinkan mereka.

"Jadi, nggak ada faktor lain? Seperti udah nggak nahan kali." Keysa kembali menggoda Zahira.

"Nggak begitu juga kali, Key." Zahira semakin kesal saja pada Keysa yang sedang mengangkat alisnya satu-persatu secara bergantian.

"Ya kali kan Rafdannya yang nggak bisa nahan. Tapi--aku salut sama kamu, Za. Kirain Si Rafdan itu mati rasa sama wanita. Dia nggak begitu tertarik masalah wanita." Ronald kembali mengobarkan kekesalan di hati Zahira.

Namun, mendengar pengakuan Zahira mereka lega. Dengan harapan pernikahan Rafdan dan Zahira berjalan lancar.

"Tuh, yang kita tunggu datang," tunjuk Keysa pada seorang lelaki yang sedang mendekati mereka.

"Ciyeee, calon pengantin baru," goda Ronald.

Rafdan tersenyum senang, "Kamu juga harus segera nyusul." Rafdan menatap Ronald dan Arini bergantian.

"Aku masih mau kuliah S2," jawab Arini melirik Ronald yang cukup terkejut.

"Sayang, kita kapan nikahnya kalo kamu masih kuliah S2?" Wajah Nando terlihat memelas.

"Jadi, yang ndak nahan lagi itu Nando, ya." Keysa tersenyum geli.

Spontan semua tertawa. Hanya Arini dan   Nando yang malu. Setelahnya mereka tak henti-henti menggoda Nando dan Arini pun mereka mencomblangi Keysa dan Nando.

***

Pagi ini, Rafdan menemui Abi Zainal dan Umi Fatma. Pria itu menceritakan niatnya untuk segera menikahi Zahira. Setelah mendapat persetujuan dari Abi Zainal dan Umi Fatma, Rafdan akan segera pulang untuk membicarakannya dengan Abi dan Umi nya di kampung.

"Abi hanya ndak nyangka kalian akan segera menikah. Aku kira kalian menunggu selesai wisuda. Tapi apapun keputusan kalian, Abi dukung. Lagi pula juga tidak baik berlama-lama tunangan. Takutnya timbul masalah yang tidak diinginkan," ucap Abi Zainal panjang lebar.

"Itulah maksud kami, Bi. Jadi kita buru-buru nikah saja." Rafdan menjelaskan tujuannya segera menikahi Zahira.

"Tapi, masalahnya--kamu belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana kamu menghidupi istrimu?" tanya Abi blak-blakan.

"Saya berencana akan kerja sampingan, Bi. Kebetulan Aba menyarankan agar saya buka toko handphone di sini. Semua modal dari Aba." Ucapan Rafdan membuat Abi Zainal tersenyum lega.

"Alhamdulillah kalo begitu." Abi Zainal menenggak kopinya yang tersisa sedikit.

Setelah itu, Rafdan pamitan. Ia akan segera pulang ke kampungnya. Sebelumnya Rafdan telah menelepon Umi dan Aba atas kedatangannya hari ini.

***

Aba Anas dan Umi Heni telah menunggu kedatangan Rafdan di ruang tamu. Teh dan sepiring singkong goreng telah terhidang. Rasti--adik Rafdan turut menunggu kakak yang sangat disayanginya.

Tak lama seseorang mengetuk pintu dan dialah Rafdan. Berdiri di depan pintu dengan senyuman manis. Di tangannya ia menenteng sebungkus oleh-oleh.

"Rafdan segera mencium penggung tangan Abi Anas lalu Umi Heni. Tak lupa tangan Rafdan mengusap lembut puncak kepala Rasti yang tertutup hijab.

"Duduklah!" titah Aba Anas.

"Apa ndak sebaiknya dia istirahat dulu," saran Umi Heni yang khawatir anaknya itu kelelahan.

"Ndak usah, Mi. Rafdan ndak capek, kok." Rafdan duduk berhadapan dengan Aba dan Umi.

"Apa yang membuatmu pulang?" tanya Aba Anas yang sangat paham perangai anaknya itu.

Rafdan meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya perlahan. "Rafdan mau nikah, Ba," ucap Rafdan tanpa basa-basi.

Aba Anas sudah menduganya sejak awal.  Aba Anas dapat melihat bagaimana Rafdan sangat mencintai Zahira. Pasti Rafdan tak ingin suatu saat akan ada masalah yang timbul jika tidak secepatnya menikah. Apalagi kejadian saat di rumah Zahira. Mantan suami Zahira membuat keributan.

Dari hal itu sebenarnya Aba Anas ingin menyarankan untuk segera menikah. Dengan keputusan Rafdan saat ini Aba Anas menjadi lega. Berbeda dengan Aba Anas, Umi Heni malah terkejut. Sedangkan Rasti biasa saja.

"Secepat itukah? Kamu baru saja tunangan. Kok sudah mau nikah? Kamu belum sarjana. Masa depanmu masih panjang, Raf." Umi Heni menyatakan ketidak setujuannya.

Aba dan Rafdan menatap Umi. "Aku sudah berbicara dengan Rafdan jauh sebelumnya agar dia membuka toko handphone di kota. Jadi, kamu ndak usah khawatir mengenai anak kita yang akan jadi kepala keluarga. Dia pasti mampu menafkahi Zahira," ujar Aba Anas.

"Bukan itu maksudku. Aku punya keinginan Rafdan bisa kerja kantoran. Bukan hanya penjaga toko," sungut Umi kesal.

"Rafdan akan kerja kantoran kok, Mi. Kalo sudah sarjana. Masalah toko bisa bayar orang untuk menjaga." Rafdan melirik Aba Anas yang dibalas anggukan setuju.

"Tapi, Raf. Aku juga kasian sama si Kiki." Umi Heni mendengkus.

"Apa hubungannya sama Kiki?" Rafdan tak mengerti.

"Gadis itu pastinya akan sakit hati. Tunggulah sebentar agar ia siap merelakanmu." Umi Heni menatap Rafdan dan menungu jawaban di sana.

"Justru itu yang aku takutkan. Jika aku sama Zahira tidak segera menikah, akan banyak godaan yang memisahkan kami." Rafdan menatap Aba minta persetujuan atas kata-katanya dan dibalas anggukan Aba Anas.

Umi Heni merasa tidak ala lagi gunanya membujuk kedua lelaki itu yang langsung membicarakan persiapan pernikahan. Umi Heni memilih ke dapur untuk menyiapkan makan siang.

Sedangkan Rafdan segera mengabari Zahira tentang penentuan tanggal pernikahan mereka. Zahira bahagia dan terharu. Sampai air matanya tak terbendung menahan keharuan.

Tak lupa Zahira selalu bersyukur pada Sang Pencipta. Luka hatinya kini terobati  dengan adanya Rafdan di sisiNya. Zahira berharap Rafdan adalah cinta terakhirnya dunia hingga akhirat.

Tamat

Cinta yang Jatuh (𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang