Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang artinya akal. Ada kalanya ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk "budi-daya" yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa (Poerwanto, 2000: 51-52).
Menurut J.J. Honigman (1954) fenomena atau wujud kebudayaan dibedakan menjadi sistem budaya yang mencakup nilai, gagasan, dan norma. Kemudian sistem sosial yang terdiri dari kompleks kegiatan atau tindakan yang berpola. Agama dalam kebudayaan bisa berbentuk artefak atau kebudayaan fisik.
Dalam perjalanannya kebudayaan sebagai pola perilaku dipelajari dengan proses belajar, yakni :
1. Internalisasi, sebagai pengembangan perasaan, hasrat, emosi, dan kerangka pembentukan kepribadian.
2. Sosialisasi, berkaitan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
3. Enkulturasi, proses belajar kebudayaan untuk mempelajari dan menyesuaikan sikap atas sistem dan norma yang berlaku di masyarakat.
Kebudayaan yang ditemui atau dijalankan bukanlah milik individu, melainkan komunal suatu masyarakat. Karena kebudayaan tersebut terbentuk atas dasar komplementasi dari ide atau gagasan individu yang kemudian menjadi ide atau gagasan kolektif masyarakat.
Hakikatnya, kebudayaan bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Sifat tersebut yang mengatakan bahwa kebudayaan bisa bersifat progresif atau sebaliknya: regresif. Dalam perjalanannya, perubahan kebudayaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Internal, karena menemukan inovasi baru dalam berkebudayaan yang kemudian diterapkan dalam masyarakat. Sedangkan eksternal merupakan pengaruh kebudayaan dari luar yang menurut Ralph Linton (1984) sekitar 90% lebih kebudayaan dipengaruhi faktor eksternal.
Korelasi Antara Agama dan Budaya
Agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan (belief) dan upacara (ritual) yang disepakati bersama oleh kelompok masyarakat. Menurut Haviland, agama adalah sebuah kepercayaan dan pola perilaku yang digunakan oleh manusia untuk menghadapi masalah-masalah penting yang tidak dapat diselesaikan menggunakan teknologi atau teknik organisasi lainnya. Akhirnya, manusia beralih ke perbuatan memanipulasi makhluk dan kekuatan supernatural. Konsep-konsep abstraksi mengenai perwujudan ketuhanan ini kemudian diejawantahkan dalam kebudayaan yang dibingkai instutusi agama.
Agama dijadikan alat untuk membudayakannya atau mengungkapkan apa yang dipercayai dalam bentuk-bentuk budaya, seperti: perilaku atau etika, karya seni, struktur masyarakat, adat istiadat, dan lain sebagainya. Sebagai homoreligiosus, manusia adalah insan yang berbudaya dan bebas berkarya untuk menciptakan objek realitas dan nilai baru yang berdasarkan inspirasi dari masing-masing agama.
Agama adalah implikasi dari perkembangan masyarakat. Hubungan antara agama dan masyarakat terlihat di dalam masalah ritual kepercayaan. Kesatuan masyarakat bergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Agama sebagai alat integrasi masyarakat dalam praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang ikut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama tidak akan mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas sebuah gagasan dalam melakukan kreasi kebudayaan. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat lainnya.
Beberapa peristiwa sejarah yang mencerminkan kesalahan atau kejahatan dalam perilaku agama perlu kembali dikaji identitas agamanya. Sehingga agama yang mengajarkan kemuliaan seolah terlihat kecacatannya. Mulai dari penghinaan, caci maki, kekerasan, dan legalitas pembunuhan atas nama agama.
Agama mengajarkan perilaku yang baik dan welas asih. Apabila ada perilaku yang menyimpang dari ajaran agama, kemungkinan ada yang salah dalam cara berpikir mengenai hakikat dan konsep agama yang dianutnya.
Ajaran Agama yang Berbudidaya
Sebagian orang sepakat bahwa agama merupakan alat pemersatu aspirasi yang paling sublime. Kandungan ajaran yang sebagian besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan kedamaian batin, sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia menjadi beradab. Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Tetapi agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Agama tidak berasal dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sekelompok orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar, yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Tuhan. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada kemaslahatan dan keselamatan. Agama mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya dilarang. Kepatuhan dan ketaatan terhadap ajaran agama yang dianut setiap individu manusia akan menghasilkan kondisi yang ideal dalam tatanan hidup di masyarakat.
Membedakan diri sendiri dengan orang lain adalah perbuatan akal sehat, tetapi melakukan diskriminasi dan pelecehan terhadap orang atau kelompok lain justru bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh ajaran agama. Karrena di dalam agama itu sendiri melarang untuk melakukan hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik, baik dalam bentuk provokatif maupun kekerasan verbal dan non-verbal.
Sebagai umat yang beragama, sudah sepatutnya bisa menjadi contoh terbaik bagi umat manusia sedunia dengan cara hidup yang saling mengasihi dan saling menghargai dengan menerima perbedaan agama sebagai rahmat. Bukan malah melecehkan agama atau budaya lain untuk motif tertentu. Karena sejatinya agama mengajarkan budaya yang luhur, untuk menebarkan cinta kasih kepada semua.
Pernah dimuat di Geotimeshttps://geotimes.co.id/opini/agama-mengajarkan-budaya-luhur/
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Indonesia
RandomKumpulan artikel opini yang dimuat di media daring dan luring. Menyajikan berbagai tema yang dikemas dalam buku Potret Indonesia.