Secara etimologi, agama terdiri dari kata "a" yang artinya tidak, dan "gama" yang artinya kacau atau rusak. Agama berarti sebuah sistem atau aturan yang menjauhkan manusia dari tindak kekacauan atau kerusakan, menuju keteraturan dan kedamaian. Keterkaitan secara emosional mengenai keyakinan (agama) membuat pemeluknya bersikap fanatik untuk melindungi, membela, dan siap berperang dari ketertindasan.
Dalam perkembangannya, dimensi agama memuat unsur kegaiban, perilaku sosial, kepemimpinan, dan juga situasi kedamaian. Setiap agama melandaskan tujuan ketenteraman kehidupan di muka bumi. Menghindari konflik, kekerasan, dan peperangan mengatasnamakan agama. Sejarah perang atas nama agama terjadi karena motif politik untuk dominasi kekuasaan yang pada akhirnya mengabaikan nilai-nilai dalam ajaran agama itu sendiri.
Di sisi lain, kehadiran manusia sebagai makhluk sosial yang menghendaki adanya interaksi akan menyebabkan terjadinya konflik. Kemunculan perbedaan pendapatan atas pembenaran keyakinan akan berdampak pada perilaku perdebatan, anarkisme, hingga peperangan. Konflik sendiri berasal dari bahasa latin, configere yang artinya memukul. Secara sosiologis adalah perilaku yang bertujuan untuk menyingkirkan pihak lain.
Benturan kepentingan dan tujuan secara individu atau kelompok menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan sosial. Hingga memunculkan teori: siapa yang kuat, dia yang akan bertahan. Kekuatan yang dimaksud bisa bersumber dari pengetahuan, kekayaan, pengaruh, pangkat, dan lain sebagainya.
Kontradiksi mengenai konflik sebagai sisi naluriah seorang manusia yang hidup berkelompok dan agama yang bertujuan mengatur pengikutnya untuk menciptakan kedamaian sering dijadikan dalih politik untuk melawan pihak lain yang berbeda pandangan atau keyakinan. Sampai akhirnya diskursus agama menjadi hal yang sensitif dibahas di ruang-ruang publik agar tidak menciptakan konflik yang bermula dari ketersinggungan atas keyakinannya.
Mengetahui betapa fanatiknya terhadap agama, banyak pihak memanfaatkan motif politik dengan melandaskan pada narasi-narasi keagamaan. Puncaknya adalah melegalkan tindak kekerasan atas nama agama akibat doktrinisasi keyakinan tanpa kecakapan pengetahuan mengenai dasar keagamaan yang utuh.
Sikap arogansi dan emosional sering didahulukan tanpa berpikir panjang risiko dan dampak dari minimnya literasi nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Misi hadirnya agama bukan hanya tentang ritual dan metode sesembahan, melainkan terciptanya kehidupan yang damai dengan prinsip menghargai perbedaan sebagai sebuah keniscayaan.
Konflik Israel-Palestina
Beberapa hari ke belakang, pemberitaan mengenai perang Israel dan Pelestina menghiasi headline media-media nasional. Tokoh politik, artis, dan ulama juga turut menyuarakan pandangannya mengenai konflik Israel-Palestina yang sebenarnya sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Selanjutnya peperangan terus berlangsung dalam periode tertentu yang sudah membunuh ribuan penduduk sekitar.
Ada beberapa motif terjadinya perang di negara-negara Timur Tengah, termasuk Israel-Palestina. Faktor pertama adalah sumber daya alam, khususnya minyak, yang menjadi daya tarik negara-negara superpowers untuk memfasilitasi konflik di Timur Tengah. Kedua kultur sosio-politik karena keberadaan 6 suku di Timur Tengah (Arab, Yahudi, Parsi, Turki, Kurdi, dan Berber). Terakhir adalah motif ideologi Sunni, Syiah, dan Yahudi.
Konflik Israel-Palestina adalah sebagian dari kompleksitas peperangan di Timur Tengah seperti; perang saudara Suriah, Arab Saudi-Yaman, Irak-Iran, dan negara lain seperti Libanon, Sudan, Aljazair, Libya, hingga Somalia. Jadi banyak motif yang melatarbelakangi terjadinya konflik di Timur Tengah. Melekatkan perang Israel-Palestina dengan narasi perang agama hanya akan menciptakan konflik berkelanjutan di negara-negara plural seperti Indonesia.
Dukungan terhadap Palestina juga perlu dilakukan dengan motif kemanusiaan dan terciptanya kedamaian di dunia. Bukan dengan memberikan bantuan untuk melakukan agresi terhadap Israel yang dampaknya adalah sikap membalas dan menimbulkan korban jiwa terhadap warga sipil di sana.
Namun karena banyak yang mempersepsikan perang Israel-Palestina bermotif agama, negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim kencang menyuarakan anti-Israel dengan narasi rasial di banyak platform media digital. Di sisi lain, ada juga yang menyuarakan untuk lebih memperhatikan konflik dalam negeri sebelum mengurus konflik negara lain. Apalagi ditambah narasi bantuan dana kepada Palestina mengalir kepada kelompok-kelompok terorisme di sana.
Apapun perbedaan pandangan mengenai konflik Israel-Palestina adalah sebuah kensicayaan. Selebihnya, masyarakat bisa memilah kebijaksanaan melihat fenomena konflik di Timur Tengah. Jika sikap fanatik terhadap Palestina bermotif saudara seiman, masih banyak saudara seiman di dalam negeri yang butuh bantuan sosial. Namun jika motifnya adalah karena krisis kemanusiaan, maka perang Israel-Palestina harus dijadikan potret tentang banyaknya perang di Timur Tengah yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pernah dimuat di Koran Solo Pos
https://www.solopos.com/agama-dan-kemanusiaan-1129128
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Indonesia
CasualeKumpulan artikel opini yang dimuat di media daring dan luring. Menyajikan berbagai tema yang dikemas dalam buku Potret Indonesia.