Setelah amandemen UUD 1945, penyelenggaraan pemerintahan Indonesia melalui lima lembaga negara, yakni; lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif, lembaga eksaminatif, dan lembaga negara independen. Untuk lembaga eksekutif terdiri dari presiden, wakil presiden, kementerian negara, pejabat setingkat menteri, dan lembaga pemerintah nonkementerian.
Tugas dari lembaga eksekutif adalah memegang kekuasaan melaksanakan undang-undang, menyelenggarakan urusan pemerintahan dan mempertahankan tata tertib dan keamanan, baik di dalam maupun di luar negeri. Presiden Republik Indonesia mempunyai kedudukan istimewa yaitu sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Dalam tugasnya, seorang presiden dibantu oleh seorang wakil presiden dan kementerian negara. Di era Jokowi, dibentuk BPIP dan Stafsus Milenial untuk membantu mengatasi kompleksitas permasalahan di Indonesia. Tapi bagaimana kabar kedua lembaga tersebut?
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau disingkat BPIP adalah lembaga yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Pada 19 Mei 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kemudian tanggal 28 Februari 2018 diganti Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam rangka penguatan pembinaan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selanjutnya Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang diganji mencapai Rp 100 jutaan/bulan. Saat ini BPIP dikepalai oleh Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D, setelah sebelumnya diisi tokoh-tokoh populer seperti Try Sutrisno, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Said Aqil Siradj, Ahmad Syafii Maarif, hingga Megawati Soekarnoputri. Untuk 2021, pemerintah menganggarakan Rp 208,8 Miliar untuk BPIP.
Dengan anggaran sebesar itu, BPIP diharapkan mampu mewujudkan nilai dan tujuan dari Pancasila. Pancasila harus bisa diaplikasikan sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa, bukan hanya sebatas narasi dan wacana belaka. Menurut Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P, ketahanan ideologi Pancasila kembali diuji ketika dunia masuk pada era globalisasi di mana banyaknya ideologi alternatif merasuki ke dalam segenap sendi-sendi bangsa melalui media informasi yang dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa.
Representasi sosial tentang Pancasila adalah sebagai ideologi toleransi, ideologi pluralisme, dan ideologi multikulturalisme. Pancasila harus bisa memberikan solusi di tengah adanya beragam ideologi seperti sosialis dan liberal dan politik identitas oleh agama, etnik, dan kepentingan.
Sampai sejauh ini, Indonesia belum merasakan peran BPIP dalam memberikan pemahaman pentingnya berpancasila. Beberapa kasus kontra dengan prinsip Pancasila masih menjadi bahasan di masyarakat. Kewajiban berjilbab di sekolah umum, politik identitas, rasisme, dan berbagai kasus lainnya yang menunjukan tentang kegagalan BPIP membantu presiden menanamkan ideologi Pancasila.
Abstraksi capaian kegagalan dan keberhasilan BPIP perlu dipertimbangkan kembali, mengingat pemerintah harus mengeluarkan banyak anggaran untuk program dan tujuan yang tidak konkrit. Nasionalisme dan perlawanan terhadap radikalisme menjadi ranah kebijakan kementerian agama dan lembaga terkait. BPIP hanya akan dianggap menjadi beban negara jika pergerakannya tidak nyata dirasakan oleh masyarakat.
Apalagi BPIP yang seharusnya merawat kebhinekaan kerap melontarkan pernyataan kontroversial yang berlawanan dengan asas Pancasila. Anggapan agama sebagai musuh Pancasila, mengenalkan Pancasila melaui aplikasi tik-tok, hingga usulan assalamualaikum diganti dengan salam Pancasila. Apapun itu, rakyat perlu kinerja nyata dari BPIP yang digaji puluhan hingga ratusan juta dari APBN.
Stafsus Milenial
Pembentukan staf khusus milenial di era Jokowi bertujuan untuk memudahkan pemerintah mengelola negara. Staf khusus milenial dianggap mampu memberikan inovasi, gagasan, serta terobosan baru untuk menyelesaikan problematika bangsa. Tentu bukan kebijakan sembarangan membentuk stafsus milenial, mengingat demografi negara Indonesia yang didominasi usia muda.
Sejak didirikan 21 November 2019 lalu, peran stafsus milenial dianggap nihil prestasi. Malah sering mendapatkan kritik karena mengambil langkah yang sembrono seperti program kartu prakerja yang bermitra dengan Ruang Guru karena foundernya merupakan bagian dari stafsus milenial, Adamas Belva Delvara, yang kemudian mengundurkan diri 4 April 2020.
Stafsus lainnya, Billy juga diduga terlibat konflik kepentingan dalam proyek-proyek pemerintah di Papua lewat perusahaannya, PT Papua Muda Inspirasi. Sebelumnya Billy memancing kontroversi dengan cuitan "kubu sebelah" yang merujuk kepada oposisi pemerintah. Selain itu juga Andi yang dikritik karena mengirimkan surat dengan kop surat Istana untuk meminta daerah mendukung program Desa Lawan COVID-19 dengan melibatkan perusahaannya, PT Amartha.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 144 Tahun 2015, Staf Khusus Milenial mendapatkan gaji Rp 51 juta/ bulan. Dengan pengeluaran anggaran yang lumayan banyak, stafsus milenial dianggap gagal menjalankan perannya. Tidak ada terobosan, inovasi, dan kebijakan populer yang dirasakan oleh masyarakat. Bahkan selama pandemi, pemberitaan stafsus milenial tidak terdengar lagi di publik.
Apa kabar para pembantu presiden? Apakah sudah membantu presiden hari ini? Atau hanya ingin menjadi beban negara?
Pernah dimuat di Pelita Banten
https://www.pelitabanten.com/96099/2021/03/02/apa-kabar-pembantu-presiden/
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Indonesia
RandomKumpulan artikel opini yang dimuat di media daring dan luring. Menyajikan berbagai tema yang dikemas dalam buku Potret Indonesia.