Inovasi Pandemi Pentas Teater

4 0 0
                                    

Beberapa kelompok teater berguguran seiring pembatasan sosial di panggung-panggung kesenian. Pelarangan acara yang berpotensi menimbulkan kerumunan, membuat pelaku teater memutar otak untuk tetap berkesenian di tengah pandemi.

Ketidakjelasan kapan pandemi akan berakhir (kemunculan varian virus baru), menuntut seniman teater panggung banting setir untuk mencari penghidupan. Panggung teater bukan lagi menjadi tempat menjemput rezeki. Panggung teater mulai usang digantikan kisah dan kenangan.

Konsep teater sebagai hobi pun tidak mudah tersalurkan di panggung teater. Pelaku seni dipenjara dalam kecemasan persebaran Covid-19 dan ketakutan akan sanksi sosial dan hukum dari pemerintah. Diam di rumah menikmati drama-drama televisi yang tidak serealistis pertunjukan teater.

Keputusasaan pelaku teater terhadap pemerintah mengenai penanganan Covid-19 mamaksanya untuk nekat mengadakan proses dan pementasan teater secara langsung (bukan streaming) di masa pandemi. Risikonya adalah pembatasan jumlah penonton yang notabene menjadi sumber utama pendapatan utama kelompok teater. Alternatif solusi adalah dengan menaikan harga tiket pementasan untuk menutup biaya produksi pertunjukan.

Gairah pertunjukan teater bukan hanya dinikmati oleh pelaku kesenian, melainkan juga penikmat seni (penonton) yang sudah lama merindukan pentas teater. Antusiasme terhadap pertunjukan teater secara langsung jauh berbeda dengan pertunjukan teater secara digital.

Film Pengganti Teater?

Menurut UU 8/1992, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.

Di Indonesia, film pertama kali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut "Gambar Idoep". Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang dengan tema film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Sedangkan film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu.

Menurut Eko Santosa dalam buku Seni Teater (2008), teater adalah sebuah kesenian yang menekankan pada seni pertunjukan yang dipertontonkan di depan orang banyak, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainnya. Dengan kata lain teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton.

Teater berasal dari bahasa Yunani "theatron" yang memiliki arti tempat atau gedung pertunjukan. Awalnya teater diartikan sebagai gedung tempat untuk menyaksikan pertunjukan. Kemudian berkembang sebagai tempat pertunjukkan di depan orang banyak.

Era digital memaksa pelaku teater beralih ke pertunjukan virtual. Gagasan seniman teater untuk memfilmkan program kerja kelompok semakin mengemuka. Beberapa di antaranya sudah menjadikan film sebagai agenda kelompok teater. Ada anggapan menyamakan film dengan teater sebagai satu entitas: drama.

Bahkan masih banyak persepsi bahwa teater adalah "bahan mentah" untuk merambah ke dunia film. Pelaku teater dilihat sebagai "seniman rendahan" dan pemain film dilihat sebagai "seniman eksklusif". Mereka yang masuk kelompok teater punya ambisi untuk bisa main film. Teater dijadikan batu loncatan untuk eksistensi yang lebih universal, yakni dunia perfilman.

Secara visual, film tentu jauh mempunyai nilai estetis dibandingkan teater. Film lebih kuat dalam proses editing, sedangkan teater adalah pertunjukan tanpa editing. Pertunjukan teater lebih riskan untuk mengalami kecelakaan di atas panggung yang kemudian diatasi dengan cara improvisasi. Selain itu teater juga menjalani proses yang lebih panjang untuk membentuk karakter peran, dramatugi, setting tempat, musik, dan sebagainya,

Artis panggung teater dituntut lebih kuat secara keaktoran daripada pemain film yang sudah banyak menggunakan teknologi untuk menunjang kualitas seni peran. Tak heran banyak pemain film yang diambil dari selebgram, model, dan musisi yang tidak mempunyai dasar ilmu drama sebelumnya.

Film bukanlah alternatif pertunjukan teater dari segi logika, etika, dan estetika panggung. Jika tetap memaksakan mendigitalisasi teater, solusinya adalah dengan pertunjukan teater langsung yang disiarkan secara virtual. Tentu akan banyak masalah teknis dari pengambilan suara, alat rekam, dan bentuk panggung yang tidak utuh terlihat di kamera.

Untuk menghindari kejenuhan atau untuk membuat visual yang manarik, bisa menggunakan beberapa kamera yang dipasang di beberapa sudut yang kemudian diubah oleh operator teknis mengikuti blocking pemain. Minimal teater tetap utuh dimainkan dengan mempertimbangkan keaktoran, garis blocking, dan nihil dari editing visual. Film mempunyai pasar tersendiri, demikian halnya dengan teater. Jika memaksakan teater beralih ke film, maka proses teater suatu saat akan menjadi mitos generasi digital.

Pernah dimuat di Depok Pos

https://www.depokpos.com/2021/03/inovasi-pandemi-pentas-teater/

Potret IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang