Kemerdekaan Sains

7 0 0
                                    

Masih kental diingatan tentang pernyataan kontroversi Stephen Hawking, bahwa ilmu fisika tidak membutuhkan agama. Sejak berabad tahun lamanya, pertentangan antara agama dan sains seolah menjadi percikan sejarah yang akan saling sikut berebut dominasi kekuasaan. Mulai dari teori Evolusi Darwin, teori Big Bang dan Relativitas Albert Einstein, hingga teori Heliosentris Galileo Galilei.

Sejarah sains perlu untuk kembali didiskusikan dalam forum-forum kajian ilmiah. Tak dipungkiri bahwa sains berperan banyak dalam perkembangan kehidupan manusia, mulai dari ilmu statistik hingga sosial. Agaknya menjadi kemunduran zaman jika melupakan peran sains yang sudah masuk ke berbagai bidang ilmu manusia.

Menariknya, agama selalu dikesankan kontradiktif terhadap kemajuan sains. Hingga isu kemunduran peradaban Islam era kejayaan Turki Utsmani juga ditengarai karena sikap apatis terhadap perkembangan sains dunia. Di antaranya menolak konsep sains yang mengedepankan metodologi yang tidak berimbang dalam pengambilan keputusan. Semakin rumit ketika sains berbenturan dengan tafsir agamawan dalam kitab suci yang terlanjur diyakininya.

Asumsi bahwa sains merupakan bentuk perlawanan atas dominasi dogma agama masih dirasakan sampai sekarang. Utamanya dulu bagi kalangan gereja yang begitu dominan dan hegemonik di eropa lantas menolak sains modern. Ketika konflik dalam periode Revolusi Ilmiah, Islam mengambil peran dengan mengadopsi pemikiran sains Yunani Kuno dan Romawi dengan tetep menyesuaikan nilai-nilai Islam dalam perkembangannya.

Namun dalam perjalanannya sains tetap menunjukan egonya dalam penaklukan sikap religiusitas umat. Saintisme meyakini mampu menjelaskan secara gamblang tentang konsep agama daripada agama itu sendiri. Agama dipandang hanya sebuah instutusi yang memperbudak kreativitas berpikir manusia. Sehingga kekuatan logika berpikir sains berhasil meyakinkan manusia untuk mengedepankan realitas berdasarkan metode dan analisis penelitian.

Bagi kalangan agamawan, sains selain sebagai simbol perlawan juga diakui sebagai ekspresi perubahan zaman sampai era post-modern. Pengaruh besar sains memaklumkan sikap agama untuk dijadikan alat dalam keyakinannya.

Beriman Kepada Sains

Sains ibarat alat yang bisa menghipnotis manusia agar perlahan beriman terhadapnya. Mulai dari pesatnya kemajuan industri, masifnya penggunaan teknologi, hingga konsep berpikir manusia modern. Manusia dibuat terlena dengan budaya baru yang menggantungkan segala hal kepada sains. Sains selalu dapat menujukan eksistensinya dalam setiap sendi kehidupan manusia.

Covid-19 adalah salah satu contoh kasus dimana keberadaan sains begitu diimani. Sikap seni dan agama hanya tunduk akan dominasi sains. Disadari atau tidak, bahwa degradasi keimanan terhadap agama begitu terlihat. Umat (manusia beragama) takut dan tunduk terhadap ancaman Covid-19 hingga mereduksi kuantitas dan kualitas ibadahnya. Dominasi agama seakan perlahan runtuh terhadap kemegahan sains.

Agama dibuat bungkam terhadap ranah penelitian kesehatan. Tidak ada yang berani lantang menyuarakan argumen berdasarkan rujukan kitab agama. Kekuatan sains yang didukung kekuatan masa membuat agama menjadi tidak berkutik mengahadapi kenyataan kasus Covid-19. Kesimpulan elementer yang diambil adalah bahwa kematian karena Covid-19 tidak memandang status sosial dan tingkat keimanan agama seseorang.

Dokter adalah pahlawan manusia yang berdiri di garda terdepan melawan Covid-19. Umat beragama "dipaksa" sembahyang di rumah masing-masing, seniman di "pasung" kreativitasnya, semua tunduk dan beriman kepada sains dunia kesehatan. WHO mengambil peran strategis, sedangkan organisasi-organisasi agama berjamaah mendukung segala kebijakan yang diambil. Kenyataan manusia beriman kepada sains adalah bagaimana segalanya menyepakati tentang keganasan Covid-19 dan menggantungkan hidup kepada keberadaan vaksin.

Bahkan sikap agamawan sepakat menolak teori konspirasi yang mulai ramai diperbincangkan. Penjajahan iman secara intelektual dari sisi kemanusian yang berhasil mengubah paradigma manusia tentang eksistensi sains dalam mengatur kehidupan manusia. Bukan hanya agama dan seni, mulai dari politik, hukum, pendidikan, ekonomi, semua tunduk dan beriman kepada sains.

Kekuasaan jagad supranatural seolah melempem di tengah pusaran realitas yang dihadapi. Keimanan akan keberadaan Tuhan dibenturkan dengan ancaman dan ketakutan akan kematian. Sains bidang teknologi semakin menguatkan keabsahannya dalam menundukan iman dan perlawanan agama. Memaksa untuk menciptakan satu suara tentang kebenaran sains dalam mengatasi problematika kehidupan.

Relevansi Sains dan Agama

Bagi sebagian kalangan agamawan yang juga ilmuwan, maka akan melihat sudut pandang lain dalam konstelasi masalah Covid-19. Sains sebagai alat atau sarana dalam meningkatkan kualitas keimanan, bukan dengan membenturkan dalam kacamata lain. Buktinya banyak manusia yang dengan mudah mengimani agamanya karena faktor kemajuan teknologi. Membuka realitas dunia yang sebelumnya tabu dibahas dalam kajian-kajian keagamaan.

Sains tetap akan tampil superior dalam kemajuan peradaban manusia, namun bukan berarti mendekonstruksi agama sebagai kesatuan dalam menggapai keteraturan sosial. Sains dan agama adalah dua entitas yang berbeda tapi bisa berjalan beriringan untuk menuju kebahagiaan yang secara komunal disepakati. Meskipun juga harus diakui bahwa pesatnya kemajuan sains membuat sebagian orang menuhankan sains (atheis atau agnostik) dalam menjalani hidupnya. Di sisi lain, agama semakin menujukan gairahnya ketika kemudahan ilmu dan kajian tersebar di berbagai platform media digital.

Menurut Keth Ward, jika kebenaran hanya terletak pada sesuatu yang dapat diukur dan diuji secara eksperimental dan jalan satu-satunya adalah dengan analisis dan pengamatan, maka akan lahirlah Barbarisme Saintifik - kesia-sianya kajian seputar humaniora, sastra, filsafat, dan sejarah. Pemikiran ilmiah seharusnya semakin membuka bentuk dan konsep kebenaran pada lingkup kehidupan individu dan kelombok (hubungan sosial satu dengan yang lain).

Ilmuwan seperti Einsten, Newton, dan Maxwell tidak selalu terikat pada tradisi religius Ortodoks, tapi mereka menunjukan kesadaran akan intelegensi kekuatan supernatural yang mendasari semesta dan menghormati misteri eksistensi teologi. Agama harusnya menyadari tentang keberkahan kemajuan sains sebagai modal mengatur tatanan individu dan sosial berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing. Sehingga tidak ada lagi kesan bahwa agama adalah beban bagi sains dan juga sebaliknya, sains adalah beban bagi agama.

Pernah dimuat di Gusdurian

https://gusdurian.net/kemerdekaan-sains-dan-tantangan-umat-beragama-abad-21/

Potret IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang