Nyatanya, teroris masih tumbuh subur di Indonesia. Setelah pembantaian sadis satu keluarga di Sigi, Sulawesi Tengah, selanjutnya adalah bom bunuh diri yang dilakukan pasangan suami-istri di Gereja Katedral Makassar. Tak berapa lama, densus 88 berhasil meringkus terduga teroris di Bekasi dan Condet.
Menurut T. P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964), terorisme didefinisikan sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra ketat, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan.
Walaupun aksi-aksi terorisme dapat dilakukan secara individual, namun biasanya kaum teroris mempunyai suatu jaringan kerja (network) atau satuan kerja organisasi. Bahkan belakangan diketahui terdapat indikasi adanya jalinan kerjasama di antara kelompok yang berbeda latar belakang ideologis namun serupa kepentingannya, yakni melakukan perlawanan frontal dan tidak kenal kompromi terhadap sistem kekuasaan yang sah.
Banyak tokoh mengatakan bahwa terorisme tidak berkaitan dengan agama yang kemudian disanggah oleh Alissa Wahid (putri Gus Dur). Menurutnya, agama dengan ajaran eksklusif tertentu yang mempengaruhi anggotanya untuk melakukan praktek terorisme. Agak rancu kalau mengatakan terorisme yang terjadi di Gereja Katedral tidak ada sangkut paut dengan agama.
Indikasinya terlihat dari keterlibatan dalam kelompok agama, simbolisasi pelaku pemboman, dan tujuan melakukan teror. Akhirnya pelaku terorisme tidak bisa dielakan dari identitas agama Islam seperti kasus teror lainnya di Indonesia. Namun, perlu ditekankan bahwa ajaran agama apapun, termasuk Islam, sesungguhnya tidak mengajarkan praktek anarkisme dan terorisme.
Doktrinasi pemuka agama, kelompok organisasi, dan lingkungan turut berpengaruh mengubah pola pikir seseorang untuk melakukan tindakan nekat teror dengan bom bunuh diri. Ada banyak kelompok atau mazhab yang di dalamnya terdapat pula prinsip masing-masing individu yang tidak bisa dikontrol secara sistematis oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
Terlalu naif menyembunyikan eksistensi Islam fundamentalis dan militan yang ada di dunia, khususnya Indonesia. Apalagi peran media massa yang semakin meyakini tentang keberhasilan teroris untuk menciptakan kekacauan tatanan sosial-politik di sebuah negara.
Menjaga harmonisasi hubungan antaragama bukan dengan mengatakan bahwa terorisme tidak berkaitan dengan agama apapun. Melainkan dengan menjelaskan secara gamblang bahwa ada ajaran agama yang menyimpang dari prinsip dasarnya tentang kedamaian, keadilan, dan kebijaksanaan.
Budaya Mengutuk
Kebiasaan setelah terjadi terorisme di suatu daerah adalah ungkapan belasungkawa yang diselingi dengan kutukan. Seperti yang disampaikan oleh Joko Widodo (Presiden RI), Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama), Buya Anwar Abbas (Wakil Ketua MUI), Said Aqil Siroj (Ketua Umum PBNU), Cak Nanto (Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah), dan tokoh ulama atau politikus lainnya.
Pemberantasan radikalisme dan terorisme memang menjadi tujuan utama Jokowi selama dua periode. Beberapa pergantian menteri agama terjadi karena menteri sebelumnya dianggap gagal menyelesaikan problem terorisme dalam negeri. Setelah berganti menteri ditambah kapolri baru, ternyata terorisme masih tumbuh subur di Indonesia.
Teroris tidak butuh kutukan-kutukan yang tidak diimbangi dengan aktualisasi di lapangan tentang faktor, penyebab, jaringan, dan doktirnisasi terorisme. Semakin geram, marah, dan panik suatu masyarakat, maka semakin pula keberhasilan teroris dalam mencapai tujuannya.
Pada akhir Agustus 2020, Mabes Polri merilis laporan akhir tahun kinerja kepolisian yang mengungkapkan ada sebanyak 228 tersangka kasus terorisme yang ditangkap oleh Polri di seluruh wilayah Indonesia sepanjang tahun 2020. Dari 228 tersangka tersebut masih jauh dari total bibit atau calon pelaku terorisme di Indonesia yang berkembang melalui mimbar-mimbar pengajian, kopi darat, grup media sosial, dan informasi internet tentang kegagalan memahami konsep jihad, mati syahid, khilafah, dan lain sebagainya.
Memang sudah ada perhatian khusus dari pemerintah tentang aspek tindakan pencegahan terorisme yang jauh lebih dominan daripada aspek pemulihan. Sejak tahun 2010 terdapat pergeseran pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dari yang keras (hard approach) ke yang lunak (soft approach). Selain itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 menitikberatkan pada upaya pencegahan yang komprehensif.
Densus 88 sebagai garda depan penanganan terorisme di Indonesia sejauh ini telah menggunakan 3 dimensi pendekatan, yaitu: (1) Pendekatan ideologis dan keagamaan; (2) Pendekatan sosio-kultural dan politis. (3) Pendekatan keamanan dan hak atau yuridis. Dengan demikian, pemerintah Indonesia pada dasarnya sudah berkomitmen memerangi terorisme dengan fokus pada tiga dimensi tersebut, yakni pencegahan, penanganan, dan pemulihan. Meskipun hasilnya masih jauh dari kata maksimal.
Mengingat aktivitas teror masih terjadi berulang kali di berbagai wilayah di Indonesia, pemerintah dan masyarakat sipil perlu melakukan berbagai upaya untuk menghilangkan motivasi, niat, rencana, dan kesempatan seseorang yang akan melakukan tindak pidana terorisme. Diperlukan pendekatan pengajaran dan pendidikan keagamaan yang dianggap mendesak karena imparsialitas pemahaman dan penggunaan agama untuk tujuan-tujuan politis masih marak.
Namun terlalu berlebihan jika meletakan tanggungjawab pengentasan masalah terorisme hanya kepada pemerintah. Masyarakat juga harus turun tangan untuk bersama-sama mengendalikan dan memerangi paham terorisme di lingkungan sekitar. Semua harus memahami proses pelaku terorisme yang bermula dari fase pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, hingga jihadisasi. Sekali lagi, terorisme tidak butuh kutukan. Mereka butuh dimusnahkan untuk terciptanya kedamaian di muka bumi.
Pernah dimuat di Rilis.id
https://rilis.id/teroris-tidak-butuh-kutukan
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Indonesia
RandomKumpulan artikel opini yang dimuat di media daring dan luring. Menyajikan berbagai tema yang dikemas dalam buku Potret Indonesia.