Menganalisis Hoax yang Merajalela

3 0 0
                                    


Saat ini hoax sudah menciptakan budayanya sendiri, puncaknya pada masa pilkada, pileg, hingga pilpres. Saking menyenangkannya, menyebarkan hoax atau berita palsu masuk ke ruang-ruang privasi. Menjebol batas realitas tanpa berpikir panjang atas dampak atau risiko yang akan ditimbulkan.

Semakin buramnya sekat politik, agama, dan moralitas, membuat produsen hoax semakin tak karuan menciptakan konflik vertikal maupun horizontal di dalam masyarakat. Film Tilik yang sempat viral merupakan cuplikan dari problematika mendasar setiap manusia tentang puasnya menyebarkan hoax atau prasangka yang belum terbukti kebenarannya.

Bukan hanya tentang kebiasaan manusia yang suka menyerang musuhnya dengan berita hoax, dalam segi intelektual, ternyata hoax bisa dijadikan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup besar dengan menjadi buzzer. Apalagi jika bicara tentang dasar online marketing dalam era teknologi informasi seperti sekarang. Apapun itu, hoax masih menjadi masalah bersama dalam rangka menertibkan informasi yang layak dikonsumsi oleh publik.

Alasan Menyebar Hoax

Secara garis besar hoax adalah aktivitas menciptakan kekacauan sosial yang sebenarnya disadari oleh pembuat hoax itu sendiri. Di dunia global, hoax dijadikan alat atau senjata politik untuk memenangkan calon kontestan politik. Dalam beberapa bidang, tujuan utama penyebar hoax adalah untuk membenarkan persepsinya atau kelompoknya.

Ada banyak cara untuk membuat konten hoax, seperti; memotong video atau pernyataan, memalsukan data atau narasumber, hingga berita imajinatif yang dikarang untuk menciptakan kontroversi dan membangkitkan semangat pendukung yang sebasis dengannya.

Semakin sulitnya mengontrol persebaran hoax dari masyarakat membuat kerasahan bagi mereka yang berpikir waras tentang ancaman ini. Disimak dari pengguna medsos, khususnya Facebook di Indonesia sudah tembus 2,7 miliar, banyak sekali yang mempercayai berita hoax yang karena keterbatasan pengetahuannya ikut menyebarkan ke beberapa grup. Apalagi informasi tersebut sesuai dengan motif untuk mendukung kebenaran subjektifnya. Menyerang lawan kelompok atau menguatkan landasan kelompok untuk terlihat benar di publik.

Alasan lainnya memang bertujuan untuk menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Keberhasilan motif penyebar hoax adalah ketika mereka yang segolongan atau sebasis bisa saling berdebat mengenai sebuah pernyataan atau berita yang dimunculkan. Seperti taktik perang era modern, bahwa perlawanan dengan fisik akan sama-sama merugikan. Kemudian dengan trik adu domba (menyebar hoax) mereka akan tumbang dengan sendirinya.

Hoax adalah "virus" yang mudah menyebar dan sulit untuk disembuhkan. Seseorang yang sudah tertular akan menjadi fanatik dan terkesan brutal membela argumennya. Pasien penyebar hoax tidak menyadari bahwa dirinya sedang sakit, sehingga melegalkan kebencian, fitnah, dan adu domba untuk memuaskan hasratnya.

Solusi Pencegahan Hoax

Banyak hal dilakukan oleh pemerintah atau tokoh sosial untuk melawan hoax. Pendidikan karakter dalam dunia pendidikan, wadah atau organisasi pantauan hoax, hingga himbauan secara luring maupun daring. Namun tidak semua bergerak untuk melakukan pencegahan hoax, malah terlihat beberapa influencer ikut meramaikan pemberitaan hoax yang disambut sorak sorai pengikutnya.

Dalam kajian filsafat tentang pencarian pengetahuan, sebenarnya sumber hoax adalah ketidakmauan menggunakan nurani dalam menerima informasi. Hal ini yang banyak dikritik oleh pengamat atau tokoh dalam bidang pengetahuan. Minimnya literasi atau kajian tentang ilmu insting atau nulari yang dianggap tidak mendasarkan logika dalam penemuan kebenaran.

Misalkan kasus seorang nenek mencuri kayu di hutan yang dimiliki oleh instansi atau pemerintah. Maka secara aturan nenek tersebut akan dihukum, penjara atau membayar sejumlah uang. Demikian ilmu yang didapatkan dari pendidikan formal. Namun ketika pemberitaan tersebut viral, banyak yang menyayangkan sikap penegak hukum ketika akan memenjarakan nenek tersebut. Apalagi disertai fakta bahwa ia melakukan hal tersebut lantaran tidak punya uang untuk makan. Mencuri atau mengambil kayu di hutan adalah langkah yang dilakukan untuk bertahan hidup dengan menjualnya dan membelikannya beras. Kasus tersebut adalah sandaran ilmu moralitas yang sudah tergerus oleh pengetahuan modern.

Pada dasarnya setiap manusia punya insting, naluri, dan nurani untuk menemukan informasi atas kebenaran yang diamininya. Sayangnya sudah banyak yang mengabaikan hal ini yang kemudian membudaya penyebaran hoax yang dianggapnya wajar dan tidak berisiko. Mereka melakukan pembenaran atas informasi palsu asalkan bisa berpengaruh.

Hoax adalah penyakit menular yang harus segera diamputasi dengan kajian moralitas. Prinsip mengedepankan sikap kejujuran, tanggungjawab, dan hati nurani dalam menerima dan menyebarkan informasi. Selain pancaindera dan akal, manusia diberkahi hati nurani yang jika digunakan akan bisa lebih bermanfaat bagi sesama. 

Potret IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang