Entah mewakili siapa, entah mewakili apa. Jelas kepulangan Rizieq Shihab menimbulkan pro-kontra. Mereka yang begitu haru menyambut kerinduan yang akhirnya bisa berjumpa. Menyambutnya dan mengaraknya bak pahlawan yang dianggap mampu mengatasi problematika di Indonesia, umat Islam khususnya. Di sisi lain, rakyat geram karena "di atas langit, masih ada langit". Pemerintah yang selama ini terkesan otoriter dan diktator, menjadi ciut nyali kala di hadapkan jutaan orang -tanpa mematuhi protokol kesehatan- berkerumun menghadiri pernikahan putri Rizieq Shihab.
Ketika melancarkan kritik atas kejadian tersebut akan mudah dicap sebagai pembenci ulama, anti-Islam. Sedangkan banyak kegiatan keagamaan harus rela ditunda karena pandemi. Menghormati pemerintah, menjujung tinggi asas toleransi, sama-sama menanggung nasib, bergotong-royong bejuang keluar dari jeratan virus Covid-19. Agama harus bisa menjadi percontohan tentang ketaatan demi kemaslahatan umat lainnya, bukan malah sebaliknya.
Sebagai muslim yang jauh dari keriuhan penyambutan Rizieq Shihah, kami hanya menangis meratapi kebijakan yang abu-abu. Denda 50 juta malah menjadi cibiran di media sosial. Seolah memberi angin segar bagi event organizer atau perusahaan besar yang bebas melakukan acara apapun, misalkan "cuma" harus ganti rugi 50 juta. Pelanggaran dan pelonggaran acara pernikahan dan pengajian maulid nabi menjadi percontohan tentang gagapnya pemerintah pusat dan daerah tentang kebijakan yang dibuatnya sendiri. Pertanyaan selanjutnya, apakah memang sudah boleh melanggar protokol Covid-19 asal mampu membayar 50 juta?
Revolusi Akhlak
Kepulangan Rizieq Shihab memang begitu dinanti. Gairah perjuangan terhadap agama Islam dan aksi-aksi sosial untuk Indonesia. Membangkitkan kembali antusias politik Indonesia yang sempat lesu ketika banyak partai yang berkoalisi dengan pemerintah. Lama tidak terdengar orasi di mimbar-mimbar pengajian dan kampanye politik, menyiratkan perubahan metode dakwah yang lebih santun setelah lama ber-muhasabah di Arab Saudi.
Harapan muncul saat mencetuskan Revolusi Akhlak dan siap melakukan rekonsiliasi dengan pemerintah. Persatuan seolah berada di depan mata, setelah perpecahan identitas politik begitu mencolok pasca pilpres tahun 2014 dan pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Sayangnya, tafsir akhlak yang dibayangkan jauh dari yang dikampanyekan. Menyerukan untuk berakhlak, tapi penyeru malah tidak mengindahkan akhlak.
Kepulangan Rizieq Shihab yang dulu begitu diharapkan, berubah menjadi penyesalan karena kembali memanaskan konflik politik yang sudah lebih dari 3 tahun begitu adhem. Kami yang begitu jauh dari panggung-panggung politik hanya bermimpi adanya kerjasama untuk mensejahterakan rakyat dengan keadilan yang merata. Tapi yang kami lihat adalah perdebatan, pertikaian, dan peperangan mempertahankan ideologi masing-masing pihak.
Permintaan untuk tidak terjadi lagi kriminalisasi ulama diuji coba dengan pelanggaran acara pernikahan putri Rizieq Shihab. Pemerintah dipaksa untuk memaklumi kegiatan Rizieq Shihab di Indonesia karena sudah tidak lama mengikuti iklim peraturan dalam negeri. Bahkan kehadiran Anies Baswedan yang mendapat banyak kritikan tidak mengendurkan semangat untuk bersama melanggar protokol Covid-19.
Tak ayal banyak influencer yang ramai menyuarakan tentang kegagalan kebijakan pemerintah yang begitu inkonsisten. Tagar #IndonesiaTerserah, #50juta, dan lain-lain adalah ungkapan sindiran dari rakyat yang jauh dari bingar-bingar keramaian di kota metropolitan. Anies Baswedan yang sebelumnya dikenal sebagai pemimpin yang tegas pun tunduk pada kedigdayaan sebagian rakyatnya sendiri. Apalagi kemenangan Anies Baswedan juga karena dukungan nyata dari Rizieq Shihab dan basis muslim 212.
The Trolley Problem
Teori The Trolley Problem tentang filsafat moral seolah menggambarkan posisi pemerintah sekarang. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf moral British Phillipa Foot pada tahun 1967. Ada beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk memutuskan kebijakan, seperti; utilitarian, moralitas, loyalitas, pengetahuan, dan intuisi.
Setiap keputusan akan menimbulkan risiko, tinggal bagaimana seseorang bisa minimalisir risiko dari keputusannya. Selain risiko minimal, kebijakan juga didasarkan pada keterikatan emosional pengambil keputusan. Risiko besar pun kadang diambil, asalkan tidak mengorbankan orang yang dicintai.
Dalam kasus acara yang digelar Rizieq Shihab, Anies Baswedan harus mengambil keputusan yang serba sulit. Seperti buah simalakama, popularitasnya dipertaruhkan dalam pengambilan kebijakan yang dilematis. Pelarangan tegas terhadap acara pernikahan putri Rizieq Shihab akan menghilangkan kepercayaan pemilih muslim yang sebelumnya begitu fanatik mendukungnya. Sedangkan membiarkan dan "hanya" memberinya denda 50 juta juga menampar emosi seluruh rakyat Indonesia yang rela di-PHK, kehilangan pendapatan, jatuh miskin, demi menaati peraturan pemerintah untuk kebaikan bersama.
Industri hiburan berjatuhan karena sepinya pemasukan sponsor, seniman mengubur mimpinya tampil di panggung-panggung masyarakat, buruh-buruh menjadi pengangguran, sedangkan di televisi kita saksikan orang-orang bebas berkerumun tanpa menggunakan masker dan tertawa lepas tanpa merasakan keprihatinan saudaranya di daerah lain yang rela berbulan-bulan tanpa aktivitas (di rumah saja).
Pembagian masker secara gratis dianggap sebagai langkah "persetujuan" atas acara yang jelas-jelas melanggar aturan pemerintah. Denda 50 juta dianggap sebagai upaya bijak dari pemerintah untuk mengobati kekecewaan jutaan masyarakat di Indonesia. Pengambilan keputusan atas risiko dalam the trolley problem tampaknya kurang begitu bijak untuk saat ini. Demi tidak kehilangan popularitasnya sebagai tokoh yang banyak diidolakan muslim milenial, Anies Baswedan rela menjilat ludah sendiri atas pelanggaran aturan yang dibuatnya.
Untuk menutupi inkonsistennya peraturan pemerintah daerah, Anies Baswedan pun enggan menghadiri acara pernikahan putri Rizieq Shihab. Tapi agaknya otoritas pemerintah masih dianggap lembek menegakkan aturannya sendiri. Pelonggaran terhadap basis umat muslim yang menghadiri acara Rizieq Shihab jangan digambarkan sebagai kekuatan muslim seluruh Indonesia, karena NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia mengkritik kegiatan tersebut. Semoga kasus ini menjadi pengalaman untuk lebih bijak lagi membuat aturan dan menegakkannya. Jangan sampai pelonggaran acara tertentu malah memantik lainnya untuk membuat acara serupa. Sehingga pelanggaran protokol kesehatan bisa dimaklumi, asalkan pelanggarnya dalam jumlah yang banyak.
Pernah dimuat di Gusdurian
https://gusdurian.net/rizieq-shihab-dan-the-trolley-problem-pemerintah/
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Indonesia
AcakKumpulan artikel opini yang dimuat di media daring dan luring. Menyajikan berbagai tema yang dikemas dalam buku Potret Indonesia.