Setiap hari masyarakat harus dicekoki dengan pemberitaan Covid-19. Mulai dari peningkatan jumlah kasus dan kematian, hingga konsep abu-abu New Normal. Walhasil, kegelisahan masyarakat sudah mulai tidak terbendung lagi. Mereka nekat melakukan aktivitas yang sebelumnya mendapatkan peringatan dari instansi terkait. Sudah tidak ada lagi kecemasan dan ketakutan mengenai penyebaran virus Corona, bukan karena mereka mempercayai teori konspirasi, tapi lebih kepada perasaan sumpek karena setiap hari menyaksikan pemberitaan seputar Corona.
Hidup tak segan, mati tak mau. Begitulah saat ini yang dirasakan masyarakat kalangan bawah. Meraka sudah lelah saling menyalahkan satu sama lain terkait anjuran agar #DiRumahAja. Ada keluarga yang harus tetap diberikan nafkah, sedangkan gejolak di masyarakat, banyak karyawan yang terpaksa di-PHK dan dipensiunkan dini. Beberapa di antaranya harus terima dipotong gajinya yang jauh dari layak dengan sistem NWNP (No Work No Pay) dan Work From Home. Ekonomi Indonesia bergejolak, pengangguran melonjak, dan masyarakat satu per satu jatuh tergeletak.
Alih-alih menaati protokol kesehatan, masyarakat kalangan bawah gencar melakukan aksi perlawanan dengan nekat melakukan pekerjaan publik untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pengaruhnya meluas ke masyarakat lain yang akhirnya mulai berani melakukan acara kumpul-kumpul biasa seperti sebelum masa pandemi Corona.
Kurang Lakunya Kehidupan Masyarakat Miskin
Ketika ada kritik terhadap media massa mengenai konten pemberitaan yang dianggapnya menambah kecemasan di masyarakat, seharusnya iklim masyarakat bermedia di Indonesia juga mesti diubah. Media adalah korporasi yang di dalamnya menganut asas jurnalistik dalam pemberitaannya. Meskipun sekarang harus diakui beberapa media sudah tidak lagi memperhatikan prinsip cover both side dalam peliputannya. Satu hal yang perlu diketahui bahwa media akan mengikuti arus ke mana masyarakat lebih berminat untuk membaca dan menerima informasi.
Satu atau dua orang yang kecewa dengan perkembangan media saat ini, tidak akan mempengaruhi intensitas pemberitaan konvensional. Pers tetap menjadi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jurnalistik dengan memanfaatkan keadaan di sekitarnya sebagai nilai jual. Sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri. Jadi terlalu naif jika media dijadikan dalih atas kerusakan pola hidup di masyarakat.
Salah satu yang sering luput dari pemberitaan nasional adalah realitas kehidupan masyarakat saat ini (di masa pandemi Covid 19). Ketika daya tawar pemberitaan Corona lebih diminati daripada pengangguran dan kemiskinan yang bertambah dari waktu ke waktu. Berdasarkan data BPS, Angka kemiskinan per bulan maret 2020 meningkat 1,63 juta orang dari bulan september 2019 yang mencapai 24,79 juta orang. Angka tersebut diprediksi akan terus meningkat entah sampai kapan berakhirnya pandemi Corona. Bahkan pengamat memperkirakan resesi sudah berada di depan mata yang ditakutkan akan menjadi depresi di kemudian hari.
Mereka yang terkena dampak secara langsung (PHK) sudah tidak lagi menghiraukan isu nasional. Mereka hanya berharap bisa hidup normal, bekerja dan mencukupi kebutuhan keluarga. Sedangkan yang tidak terkena dampak secara langsung ingin lepas dari bayang-bayang ketakutan. Bisa kembali liburan dan bercengkrama melepaskan penat pemberitaan tentang krisis, resesi, ataupun depresi.
Bagi kalangan menengah atas (tidak dalam kategori miskin), mereka seakan lupa tentang mengkhawatirkannya kemiskinan di masyarakat. Karena memang pemberitaannya terseleksi dengan berita Corona beserta tetek bengek-nya. Bekerja serabutan, ketakutan membawa anak periksa ke dokter, tekanan angsuran hutang ke bank, dan bunuh diri karena stres menanggung beban hidup.
Meneguhkan Prinsip Gotong Royong
Eka sila yang mengandung prinsip gotong royong adalah ruh dari Bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebhinekaan, kebangsaan, dan saling tolong menolong sudah melakat dalam diri setiap warga negara. Ketika bantuan pemerintah yang dirasa kurang merata, aksi solidaritas harus terus digencarkan. Peran media juga dibutuhkan untuk turut serta membangkitkan semangat kemanusiaan.
Kita tidak bisa terus menyalahkan keadaan tanpa usaha untuk turut menyelamatkan saudara kita dari jeratan kemiskinan. Bantuan Corona sebesar 600 ribu selama 4 bulan juga hanya ditujukan kepada karyawan yang terdaftar di BPJS. Sedangkan banyak lainnya yang sudah di-PHK dan miskin sejak awal tidak mendapatkan. Jika bantuan dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli di masyarakat yang tujuannya untuk menggerakan roda perekonomian negara, maka secara sadis kita tega melihat banyak saudara kita terlantar menanggung beban penderitaan akibat pandemi Corona.
Covid-19 memang patut dimaklumi, tapi jika terus diratapi, akan banyak saudara kita yang mati berdiri. Mereka tidak punya banyak hal untuk bisa bertahan hidup selain berhutang kepada sanak saudara atau tetangga. Selain minim keahlian, juga karena terbatasan lowongan pekerjaan di masa pandemi. Covid-19 memang sejenak membuat kita amnesia akan realitas kehidupan di sekitar kita.
Pernah dimuat di Geotimes
https://geotimes.co.id/opini/corona-amnesia-dunia-realitas/
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Indonesia
РазноеKumpulan artikel opini yang dimuat di media daring dan luring. Menyajikan berbagai tema yang dikemas dalam buku Potret Indonesia.