Program Vaksinasi Covid-19, Belajar dari Pandemi Cacar

5 0 0
                                    

CEO Bio Farma, Honesti Basyir, menyatakan bahwa dalam kuartal kedua, Indonesia diperkirakan masih akan menerima 20,2 juta dosis vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Moderna Inc dan perusahaan farmasi China, Sinopharm. Pemerintah Indonesia menargetkan dapat memvaksinasi 181,5 juta orang dalam setahun sebagai upaya untuk menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity) dalam program vaksinasi yang dimulai pada Januari.

Sejauh ini sudah lebih dari 300 juta dosis vaksin Covid-19 yang telah disuntikkan di lebih dari 100 negara di dunia. Program vaksinasi ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Priotitas vaksinasi dilakukan terhadap masyarakat lanjut usia (lansia), tenaga kesehatan, dan orang-orang yang rentan secara klinis.

Di Indonesia, tahap pertama program vaksinasi diberikan kepada kelompok tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19. Sedangkan untuk tahap kedua program vaksinasi nasional yang ditujukan kepada masyarakat lansia.

Namun program vaksinasi mengalami berbagai kendala seperti yang diungkapkan Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Profesor Sri Rezeki Hadinegoro. Pertama, keakuratan data yang membutuhkan sinergitas dan koordinasi antara Kominfo, Telkom, dan BPJS. Kedua, terkait dengan penyakit bawaan atau komorbid.

Selain itu, program vaksinasi nasional juga harus siap menghadapi tantangan mulai dari ketersediaan jumlah vaksin untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity), soal pendistribusian vaksin terhadap negara dengan geografis yang mempunyai cakupan luas seperti Indonesia, terakhir adalah proses pelaksanaan vaksinisasi di lapangan.

Belum lagi narasi konspirasi di media untuk menolak vaksin, disinformasi atau persebaran hoax tentang bahaya vaksin, dan faktor iklim politik di Indonesia. Meskipun dihadapkan banyak tantangan, dunia pernah mengatasi permasalahan pandemi, seperti Cacar. Seperti yang diungkapkan Herodotus, Historia Vitae Magistra (sejarah adalah guru kehidupan), sebagai pernyataan tentang pentingnya belajar sejarah, termasuk program vaksinasi nasional.

Belajar dari Pandemi Cacar

Cacar pertama kali muncul sekitar 10.000 SM di wilayah pemukiman pertanian awal timur laut Benua Afrika. Kemudian disebarkan oleh saudargar Mesir dan Persia dalam milenium pertama sebelum masehi. Dalam penelitiannya, cacat cacar ditemukan pada wajah mumi-mumi dinasti Mesir abad ke-18 dan ke-20 (1570-1085 SM), termasuk di antaranya mumi Ramses V. Cacar dianggap sebagai scourge (siksaan) umat manusia paling dahsyat sepanjang masa.

Seperti halnya Covid-19, cacar dapat menular ke setiap orang tanpa melihat gender, umur, status sosial-ekonomi. Pada abad ke-18 di Eropa, ada 400.000 orang meninggal setiap tahunnya karena cacar dan sepertiga dari yang sembuh mengalami kebutaan. Pandemi Cacar berakhir dieradikasi pada 8 Mei 1980 yang dideklarasikan oleh World Health Assembly yang sekarang dikenal menjadi World Health Organization (WHO).

Untuk menjelaskan keadaan dunia secara komprehensif ketika itu, situasi dunia didominasi perang berkepanjangan antara Inggris dan Perancis, sedangkan Belanda beraliansi dengan Perancis. Seiring perkembangan perang, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah koloni, termasuk di Indonesia (Hindia-Belanda).

Pandemi cacar di tengah peperangan menyulitkan akses dunia kesehatan antar daerah koloni untuk mendistribusikan bahan, alat, dan tenaga kesehatan. Seperti di Indonesia, pengiriman bantuan kesehatan dari Belanda membutuhkan waktu sekitar 4-6 bulan mengelilingi Cape of Good Hope dengan kapal-kapal layar kayu.

Pada tahun 1804, sidang Raad van Indie membahas surat dari Kloprogge tentang pemanfaatan vaksin yang paling efektif, aman, dan bisa dipertanggungjawabkan. Hingga tanggal 21 September 1804, Kloprogge dan Gauffre menyimpulkan bahwa vaksin dari Isle de France adalah vaksin yang benar dan aktif.

Namun pemerintah ketika itu kurang puas dengan program vaksinasi cacar yang dianggap lamban. Masalah selanjutnya adalah keterbatasan jumlah vaksin aktif karena Indonesia merupakan negara beriklim tropis sehingga mempengaruhi efektivitas vaksin menurun karena terkontaminasi suhu udara.

Setelah itu pemerintah menetapkan tujuan program vaksinasi cacar, yakni memvaksinasi semua anak dan menjamin ketersediaan vaksin secara berkesinambungan. Keberhasilan vaksin ditentukan oleh, (1) kesediaan masyarakat untuk memvaksinasikan anak-anaknya, (2) kemampuan dan kinerja para vaksinator, (3) tersedianya vaksin cacar aktif.

Kemudian jika terjadi epidemi cacar di suatu daerah harus segera mengambil tindakan dengan memberitahukan rakyat setempat dan wilayah sekitarnya, anak yang berasal dari rumah dengan penderita cacar dilarang masuk sekolah, semua anak yang berada di lembaga-lembaga pemerintah harus dievakuasi, penderita cacar dilarang meninggalkan rumahnya, dan kapal dengan penderita cacar tidak diizinkan debarkasi.

Program vaksinasi cacar di Jawa dan Bali dilaksanakan dengan menggunakan sistem lingkaran. Jawa dan Madura dibagi dalam 166 distrik kemudian ditambah 17 distrik lagi. Sedangkan di Bali dibagi menjadi 6 distrik. Setiap distrik dibagi oleh 3 lingkaran konsentris dalam 3 wilayah dan di setiap lingkaran didirikan pos-pos vaksinasi. Tuntunya, jumlah pos di lingkaran tengah dan luar memperhitungkan jumlah penduduk dan keadaan geografis wilayah.

Keberhasilan program vaksinasi cacar juga disebabkan karena kesediaan orang tua mengantar anaknya untuk divaksinasi, peran pejabat pemerintah dan tokoh ulama sebagai ikhtiar untuk bertahan hidup, dan informasi mengenai alasan rasional manfaat vaksinasi secara individu dan sosial masyarakat. Pada 24 April 1975, Indonesia dinyatakan bebas dari cacar oleh WHO. Pada 8 Mei 1980, WHO di Jenewa mendeklarasikan bahwa penyakit cacar telah dieradikasi dari muka bumi.

Pernah dimuat di Koran Duta Masyarakat

https://file.lelangdjkn.kemenkeu.go.id/view-file/2021/04/20/607e11a4aa3dd-54720EZO-pengumuman-718bar.pdf 

Potret IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang