4. harus

644 104 2
                                    

tante: "pesonamu blm keluar sebelum kamu menunjukkan roti sobekmu dek rafa, pada setuju yekan eneng2 sekaliannn 😆🤭"
rafa: "akan tiba waktunya di chap sekian saya akan buka baju, buka celana, buka jendela masa depan"
ehhhh 😅😂

Rafael POV

"Mbak Shanti, mbak dengar apa yang saya omongin?" Tanyaku pada perempuan yang duduk termangu di depanku.

Perempuan ini memandangiku sedemikian rupa sejak aku datang menghampirinya di meja yang berada di sudut sebuah kafe kopi.

Tempatnya sedikit terpisah dari banyaknya pengunjung kafe yang mengambil tempat duduk di depan.

"Eh iya, kamu barusan ngomong apa?" Matanya mengerjap beberapa kali sambil tangannya menangkup punggung tanganku yang berada di atas meja.

Tanpa kentara agar tidak menyinggung perasaannya, aku menarik tangan perlahan-lahan dan menyembunyikannya di bawah meja di iringi dengan menarik nafas panjang.

Sepertinya kak Melan memberiku klien yang aneh lagi nih kali ini.

Aku paling tidak suka dengan perempuan genit, instingku mengatakan demikian, perempuan ini pasti genit.

Bertahun-tahun menghadapi berbagai macam perempuan sebagai klienku, aku bisa mengetahui watak dan karakter mereka.

"Saya tadi ngomong..." Lagi-lagi aku menarik nafas karena melihat perempuan di depanku kali ini menopang dagunya dengan menatapku lurus. Pandangan matanya sangat menusuk tajam, seperti ingin menelitiku lebih jauh.

Aku bukannya sekali dua kali menghadapi klien, mungkin karena sering, aku jadi bisa membaca karakter orang-orang seiring dengan berjalannya waktu.

Dan perempuan bernama Shanti ini mempunyai karakter genit walaupun hanya dengan sekali melihatnya saja.

"Kamu blasteran ya?" Tanyanya di luar dugaan, melenceng dari tujuan utama kami untuk bertemu.

"Gak, orang tua saya warga negara Indonesia" Jawabku cepat.

"Masa sih? Tapi kaya orang bule gitu deh, kamu tuh tinggi banget, ada 187 senti?" Tanyanya lagi antusias memotong perkataan yang hendak keluar dari bibir ini sehingga aku kembali mengatup rapat mulutku.

"185" Jawabku singkat lalu mengusap tengkuk. Aku harus dapat mengiringnya untuk kembali ke pokok utama pembicaraan.

"Bola mata kamu coklat muda banget, beda sama kebanyakan warna mata orang Indonesia yang gelap, di tambah lagi warna rambut kamu juga coklat gak kaya orang asia lainnya, itu warna asli rambut kamu kan? Kayanya kamu blasteran deh" Shanti mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihatku lebih seksama.

"Warna rambutnya asli kan?" Tanyanya lagi, kalau saja aku tidak bergerak mundur, tangannya yang sudah terulur itu pasti menyentuh rambutku.

"Kakek saya ada keturunan Amerika" Sahutku lalu menyenderkan punggung ke belakang dengan kepala menggeleng pelan.
Shanti sangat... ahh kak Melan harus memblack list perempuan ini, jangan sampai dia menyewa jasaku berulang-ulang.

"Nah gitu dong ngaku kalau memang ada darah-darah bulenya, pantesan ganteng, saya tuh liat kamu pertama kali udah langsung tau kalau kamu bule" Shanti berkata riang dengan mata kembali mengerjap.

Senyuman menghiasi wajahnya. Matanya masih mengerjap-ngerjap, sepertinya dia tidak genit tetapi cacingan.

"Umur kamu beneran dua puluh sembilan?" Tanyanya kemudian.

Aku nyaris mendengus.

"Mbak, kita ketemu untuk ngebahas persoalannya mbak sama pacarnya, kenapa sekarang malah nanya-nanya soal saya?"

Simatupang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang