04: She's Always Waiting For Your Stories, Man

436 86 21
                                    

Hubungan apa pun itu, apabila dijalani dengan sesuatu yang stagnan atau mulus-mulus saja, mungkin tidak akan menyisakan kesan dan atmosfer yang berarti bagi yang menjalankan hubungan itu sendiri.

Namun sebaliknya, jika sesekali hadir dinamika berupa aral paku-paku jahat di tengah jalan, yang tadinya masih bisa dijalani dengan mulus, jadi terasa kurang nyaman dilalui. Maka, langkah yang paling bijak untuk menghadapinya adalah belajar dari kesalahan, bahkan proses pendewasaan yang diperoleh dari peristiwa saling pengertian dan memaafkan.

Alhasil setelah itu, mereka bisa menjalaninya dengan lebih berhati-hati, menjaga hati masing-masing agar tetap saling percaya, tanpa terasa jika chemistry akan tercipta lebih kuat dari yang sebelumnya.

Dalam hubungan pertemanan, munculnya pertengkaran sudah menjadi hal lumrah. Entah sekadar cek-cok ringan atau sampai perang dingin berhari-hari. Tidak seorang pun yang menginginkan adanya perpecahan, tetapi datangnya masalah memang sukar dihindari.

Tentu, keretakan itu tak luput menghajar persahabatan mereka bertiga.

"Album lo udah sampe?" Menerima anggukan dari Raka, Hasya kembali bercuap, "Tapi gue gak expect kalo uangnya dibalikin secepet ini. Gue kira bakal akhir bulan. Hehe."

"Hmm ...."

"Thanks, ya, Rak. Padahal gak pa-pa, loh, kalo mau dibayar nanti-nanti. Atau lo mau nyicil juga gak masalah. Segala nitip di Gibran, lagi. Kirain lo mau bayar langsung lewat gue. Tapi, kata dia biar sekalian aja. Tau, ya kenapa. Kalo ada butuh lagi, kabarin aja, Rak. Gue siap direpotin, kok."

Pandangan Raka belum lepas dari layar ponsel, maka ucapan Hasya hanya direspons sekenanya, "Gak usah. Makasih banyak, Sya."

Suasana kelas cenderung sunyi. Jam istirahat baru saja tiba. Murid-murid sudah berhamburan keluar, berlomba-lomba tentang siapa yang akan sampai duluan di kantin. Sementara dua sejoli ini, justru memilih mendekam di kelas. Inginnya Hasya mengajak Raka keluar, namun agaknya, Raka sedang dalam suasana hati yang kurang baik. Terbukti oleh wajahnya yang tampak kuyu.

"Lo... gak pa-pa? Lagi ada masalah, kah?" Hasya bertanya penuh selidik, mencium bau-bau ada yang tak beres dari perilaku Raka. "Heh, denger gue gak, sih, lo? Rak! Rakaaa!"

Raka membanting ponselnya agak keras di meja hingga membuat Hasya terpejam menahan kejut. "Masalah apa, sih? Lagian kalo emang gua ada masalah, ya masalah gua gini-gini doang. Lose streak lah, gagal top up demi makan lah, Mber mogok di tengah jalan lah ...."

Hasya yang merasa jawaban Raka kurang memuaskan, justru memanyunkan bibir. "Ya udah, sih, santai. Jutek banget lo dari kemaren."

"Kagak, ah. Perasaan lo doang, kali." Raka kembali menarik HP-nya dengan wajah ditekuk sempurna.

"Iya! Muka lo kentara kusut banget. Lo sama Gibran juga, keliatannya... aneh? Gak rusuh kayak biasanya. Tapi bagus, deh, kalo pada anteng gini. Gue jadi gak repot ngurusinnya."

Raka melengos. "Tau, Sya. Puyeng gua."

"Cerita aja, Rak, kalo udah siap, mah. Kuping gue selalu nganggur, nih."

Raka berdecak sembari mengantongi benda pipih miliknya itu. "Lo kenapa?"

"Gue, kenapa... apanya yang kenapa?" Hasya mendelik bingung.

"Lo selalu pengin denger gua cerita," balas Raka dengan nada yang kurang enak didengar. "Masalah gua gak seberapa dibanding lo, Sya. Nanti lo ngerasa kebeban. Gak ada yang bisa diceritain dari gua."

"Gimana, gimana? Emangnya salah kalo gue mau nawarin diri buat dengerin lo cerita???"

"...."

"Gue cuma berusaha jadi pendengar yang baik, bikin lo nyaman temenan sama gue, dari hal sekecil apa pun kita udah sama-sama tau." Hasya mengoceh panjang lebar dengan bahu naik-turun yang dalam seketika membungkam Raka.

SOULWAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang