09: Never Been The Choosen One

179 42 5
                                    

Waktu menunjukkan pukul lima sore, tapi bocah dua ini masih berada di sekolah. Biasa, habis latihan futsal. Hasya? Sudah pulang duluan, tentunya. Kebetulan ada jadwal les. Biasanya, hari Kamis ia membawa mobil karena tidak mungkin di antara dua cowok itu mau repot mondar-mandir—kecuali diiming-imingi semangkok mie ayam gratis. Tapi entah kenapa hari ini ia malah pesen ojol.

Lapangan mulai sepi, orang-orang sudah pamit pulang. Sementara Raka dan sohibnya ini masih ingin singgah. Katanya pengin ngeringin keringat dulu.

"Semalem kenapa lo?" tanya Raka seraya menyeka peluhnya dengan handuk kecil.

"Hah?" Gibran yang baru menenggak air jadi terhenyak.

"Ituu, lo nge-chat, kan?"

Sempat diam sejenak untuk berpikir. "Ooh, itu. Yaa, biasa. Mau kabur lagi, tapi gak ada alesan. Ya udah lah, udah lewat juga. Mending temenin gua, Rak! Capek di rumah, pulang ke kostan cuma nyari mati."

Sebetulnya, Raka juga bingung kenapa Gibran jarang sekali pulang ke indekosnya itu, padahal pembayaran sudah dilunasi hingga satu tahun ke depan. Tetapi ketika cowok itu bercerita kalau orangtuanya memang menentang keputusan sang putra, Raka berusaha memaklumi.

Ternyata, Gibran memang tak pernah diizinkan untuk pindah. Tapi anak itu bersikeras, meski harus merelakan uang sakunya yang ludes untuk bayar sewa.

"Ajak Hasya, boleh?" Raka menaikturunkan kedua alisnya.

Delikan heran direbakkan. "Ngapain nanya gua? Ajak, mah, tinggal ajak," ucap Gibran setengah sewot.

"Hahay, okeee." Raka mengukir cengiran bahagia.

"Ngapa dah, lu?" Gibran melirik sinis.

"Gak pa-pa," ucap Raka padahal kentara sekali dirinya mesem-mesem.

Gibran makin dibuat curiga. "Girang pisan aura-auranya."

"Gue pengin ketemu dia lebih sering aja. Soalnya, pas lulus nanti, katanya dia mau kuliah di luar negeri."

"Hah????" Gibran mengerjap bingung.

"Kaget, kan, lu. Gua apalagi."

"Bukan kaget karena itunya, sih...," Gibran mengusap lehernya. "gue bingung aja semisal nanti lo sendirian."

Raka menoleh sambil meremas kuat bahu Gibran. "Maksudmu apa, yah, mas?" tanyanya dramatis.

Gibran segera menepis tangan Raka. Memantapkan diri, Gibran akhirnya mengungkap, "Gue juga bakal pindah akhir semester ini. Jadi orang Aussie... bareng Lisha."

"Aus? Aus mah minum, noh. Banyak es di kantin," balas Raka penuh keseriusan.

"Aussie, anjir. Australi," jelas Gibran setengah emosi. "Mau ngelanjutin bisnis Bokap di pusatnya sono, sekalian kuliah."

"Najis, bercanda mulu kerjaan lu. Lucu? Kagak sama sekali." Raka melayangkan tatapan menghakimi.

"Heh, gua serius, goblok!"

"Lu pikir gue percaya?"

"Ya, terus gimana caranya biar lo mau percaya??" tanya Gibran mulai frustrasi.

SOULWAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang