Epilogue: Ci Vediamo

398 148 38
                                    

Raka cilik memang tidak sekalipun diberi kesempatan untuk benar-benar meresmikan ucapan selamat tinggalnya kepada Leen—selain lambaian tertahannya—untuk yang terakhir kali, sebelum keduanya sama-sama dipisahkan oleh jarak dari satu benua ke benua lain.

Dan tatkala seorang gadis kecil kesayangannya itu sudah duduk manis dalam kendaraan yang dikemudikan orangtuanya, dan menjadikan jendela mobil sebagai perantara demi memperlihatkan sebuah tangan melambai-lambai dari jauh diiringi segaris senyum hangat—yang seakan mengharuskan Raka agar mampu memaknainya sendiri,

bahwa di balik lambaian tangan dan lengkungan bibirnya itu seolah menyuarakan sesuatu supaya setidaknya, Raka tidak perlu mencemaskan diri secara berlebihan, sebab Leen tidak akan berlama-lama berlalu dari sisinya dan dia pasti berjanji akan kembali.

"Dadah, Akaa! Jangan kangen, ya. Leen cuma sebentar, kok. Pokoknya, Leen pasti ketemu lagi sama Aka, janji. Tapi, gak tau kapan. Tungguin aja, ya?"

Sekiranya demikian.

Hingga pada akhirnya, tibalah ia pada sebuah titik di mana Raka baru mengerti kalau penafsirannya ternyata salah. Itu dikarenakan, Leen sama sekali tidak membuktikan ucapannya hadapan Raka.

Akan tetapi, kalaupun Leen benar, Raka berikrar pada dirinya sendiri, kalau ia: Tidak. Ingin. Percaya. Lagi. Pada. Janji.

Karena Leen sendiri tidak sanggup menjanjikan kata kembali, yang seharusnya tidak sulit untuk ditepatinya.

Padahal, Raka tetap di sini. Setia menunggu tanpa jeda, asal itu membuatnya kembali melakukan rutinitas seperti saat-saat di mana Leen masih ada di sisinya.

Satu pekan....

Dua pekan....

Tiga sampai empat pekan dan seterusnya....

Leen masih enggan mengisi dan setia mengosongkan space di samping Raka pada saat-saat yang seharusnya mereka gunakan untuk menghabiskan krayon bersama, menonton kartun kesukaan berdua, atau saling mengerjakan PR di satu tempat.

Leen masih membiarkan beribu pesan darinya teronggok bisu di chat BBM dalam simbol huruf D berwarna biru, yang artinya hanya terkirim namun tidak tersampaikan karena tak kunjung menjelma menjadi bulatan R hijau sampai kapan pun.

Leen memporak-porandakan harapannya dengan sempurna. Raka bersyukur, sebab harapan hanya akan membawanya bermuara pada ketidakpastian dan itulah yang membuat hati kecilnya serasa ditikam perlahan-lahan.

Meski kenyataannya, mereka tidak lebih dari sepasang bocah cerewet, tidak siapa pun yang bisa terbiasa dengan kehilangan tanpa dukungan emosional. Walau tidak bisa dibilang lama untuk menghabiskan waktu berdua dengan title persahabatan di beberapa tahun terakhir, mereka sudah saling melengkapi untuk sekadar mengisi kehampaan dunia Leen, saling bertukar cerita yang hanya mampu dipahami satu sama lain, ya, meskipun begitu, mereka juga punya perasaan.

Persahabatan semasa kanak-kanak itu tampak berkesan bagi mereka. Maka, semakin berkesan, semakin sulit pula untuk dilepaskan.

Wajar kalau Raka enggan merelakannya untuk kemudian menyisakan bekas kenangan belaka.

Masing-masing dari mereka hanya bisa bergantung pada waktu, seiring Raka yang berusaha meyakini diri melalui pancaran kilat mata Leen yang mengatakan pasti ia akan kembali.

Raka tidak akan pernah dibiarkan untuk tahu kalau Leen dimanipulasi. Leen sudah menaruh kepercayaan penuh terhadap Papa yang katanya akan membawa dirinya pada tempat yang tidak jauh-jauh dari Bandung dan tak lama lagi pasti kembali bertemu Raka, padahal yang terjadi justru sebaliknya.

Leen cuma sebentar, kok.

Ironinya, kata sebentar itu hanya diciptakan sebagai penghibur bagi Raka maupun Leen, sehingga tidak terasa kalau sebentar yang dimaksud itu, butuh waktu dalam hitungan bertahun-tahun rupanya.

SOULWAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang