06: Friends, Lovers, or Nothing?

384 72 14
                                    

Belum ada yang tau tentang isi hati Hasya yang itu, yang didekasikan untuk Raka. Tidak sedetail itu. Bagaimanapun, yang mengerti tetaplah Hasya seorang.

Hasya memang suka sama Raka dengan proses yang mulus, segampang itu dia bisa kecantol. Tapi, kalau harus membuang jauh-jauh perasaannya, mungkin tidak akan pernah mudah buat Hasya.

Makanya dia selalu berpikir, coba saja di saat perasaan itu masih sedikit, masih kecil-kecilan, dia sudah buru-buru mengemas diri dan menyingkirkannya, pasti ujungnya tidak akan jadi serumit ini daripada harus mengemban cinta terus-terusan, yang ternyata tak berkesudahan, tak terelakkan.

Entahlah. Soal yang itu, hanya karena Hasya belum pernah mencoba atau tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau ia akan berhenti suka sama Raka. Hasya belum berkontemplasi sejauh itu. Haha. Lagi pula, untuk apa? Semuanya cuma jadi percuma.

Naksir sama Raka, identik dengan kata rela.

Hasya tidak pernah disibukkan dengan "menerka-nerka". Menerka apakah Raka memberikan feedback yang sebanding? Bagaimana perasaan Raka untuknya selama ini? Mungkinkah Raka memiliki perasaan yang sama dengannya?

Tidak pernah ia berpikir sampai sana.

Karena dia tau kalau terkaannya tadi tidak pernah menyediakan opsi jawaban yang menunjukkan pada kalimat yang baik-baik.

Meski begitu, Hasya tidak mempermasalahkannya. Menyukai Raka memang mengadopsi prinsip "trobos aja lah". Padahal Hasya tau kalau risikonya ada di mana-mana. Rentan sakit hati. Dijamin tidak tenang. Lama-lama juga capek.

Makanya Hasya cuma bisa rela.

Merelakan hatinya menggantung di Raka tanpa jaminan apa-apa. Boro-boro dikasih umpan balik, yang dipancing juga gak tau apa-apa soal perasaannya.

Karena bisanya Raka cuma melihat pemandangan di depan yang menurutnya, hanya itulah yang bisa bikin dia tetap waras.

Pernahkah dia menoleh hanya untuk memastikan gadis di sampingnya—yang selalu ada untuknya—baik-baik saja selama ada di posisi itu? Menjadi pilihan kedua?

Jelas tidak.

Raka terlalu egois.

Dan Hasya kurang tegas, selalu menganggap semuanya memang begitu adanya. Mutlak. Tak ada yang bisa diubah. Apalagi kebahagiaan Raka yang terpaku di idolanya.

Tapi ini semua bukan kompetisi, bukan persaingan. Siapakah yang akan menang? Yang dia suka, atau yang selalu ada?

Bukan.

Sesekali, Hasya pengin menyerah. Suara-suara dalam kepalanya berkata: mundur! Seonggok Raka bukan sesuatu pasti. Tidak sepatutnya ia diberi perhatian sebegitu besar darinya, kan?

Tapi, belum apa-apa, ternyata keinginannya untuk menyerah, kalah telak jika diadu dengan keinginannya untuk memperlakukan Raka lebih baik dari ini.

Semua bisa disingkirkan oleh hati kecil Hasya yang bandel itu. Maunya Hasya ya, cuma Raka.

Kesal? Lewat! Marah? Gak mempan! Sakit hati? Gak ngaruh! Semuanya tidak ada yang bisa menandingi. Hasya tahan banting.

"Ah! Pusing!"

Gibran menengok bingung. "Ngapa lu?"

"Gak bisa Sosiologi... gak suka bersosialisasi...." Dengan muka kusut, Hasya menelungkupkan kepalanya ke atas meja.

Hari ini ada ulangan harian dan itu pelajaran Sosiologi. Ngakunya sih, anak IPS. Sebenarnya tidak ada masalah yang menyangkut pelajaran Sosiologi dan jiwa sosialnya. Tapi yang namanya Hasya ini dasarnya udah asosial, tidak bisa punya temen banyak, malas ngobrol sama orang ramai, tak punya energi buat meladeni karakter orang yang tentu berbeda-beda, alhasil paling ogah buat mengerti dinamika seseorang. Dia itu tipe yang bisanya cuma bergantung sama satu-dua orang. Selebihnya, Hasya hilang arah. Apalagi kalau suatu saat, sosok penting itu pergi. Hasya cuma bisa uring-uringan.

SOULWAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang