Sebetulnya, Raka juga belum menemukan pencerahan atas definisi sebuah cinta.
Raka tidak kenal cinta itu apa; bagaimana bentuknya? Seperti apa perwujudannya? Kenapa cinta bisa membutakan seseorang yang mengembannya? Apakah cinta benar-benar nyata dan dikhususkan untuk mereka yang disebut pujaan hati?
Lantas bagaimana dengan seseorang yang sudah memiliki pasangan, namun dengan mudahnya berpaling dari satu orang dan alih-alih menjaga hati untuknya, ia malah berkhianat dan memilih menemukan cinta yang lain, yang tidak diresmikan, yang disembunyikan, yang dijadikan opsi kedua.
Saat itulah, di mata Raka, cinta menjadi bentuk rasa yang penuh kepalsuan.
Dan Raka benci kebohongan. Sangat membencinya, lebih dari bencinya kepada musuh dan senjata cacat yang dijarahnya di medan perang dunia game.
Raka hanya punya cinta untuk Tuhan, Bunda, Ayah, Alessia, game, Hasya dan Gibran.
Dia tidak akan pernah berpaling dari satu ke yang lain, Raka tetap membagi rata cinta itu tanpa menguranginya. Mereka tetap menjadi prioritasnya.
Lagi pula, belum ada yang bisa membuatnya tertarik untuk jatuh cinta. Perkara Alessia, bisa disebut cinta dari penggemar untuk idolanya. Soal Hasya, cintanya memang harus ada karena mereka berteman baik.
"DOR!"
"Anjing! Eh, sialan lu, Rak! Gitu ya, lo sekarang? Bikin orang jantungan mulu." Hasya sontak berjingkat karena ada yang sengaja menekan kejut di jantungnya.
"Ngelamun sih, lo. Ngeri kesambet aja sih gua, mah."
Hasya berdecak, padahal sedang nikmat-nikmatnya bengong malah diusik. Gadis itu tanpa suara memandang Raka yang mengambil posisi duduk di sebelahnya tanpa ekspresi bersalah.
Sekarang masih jam istirahat, Hasya sedang menghabiskan waktu di taman sekolah sambil melahap sushi yang sekarang sudah ludes tak bersisa. Tanpa siapa-siapa, hanya ia seorang.
Dan ia tidak menduga atas kedatangan Raka yang mendadak.
Beberapa menit diisi keheningan.
Malah ikutan bengong, nih, anak.
"Gue baru inget. Lo nggak ngerokok, ya, Rak?" Tiba-tiba saja Hasya terpikirkan hal tersebut.
"Emangnya harus?" Raka bertanya balik dengan tatapan kosong menerawang ke depan.
"Kebanyakan bocah cowok, kan, gitu. Gibran aja bentar-bentar nyebat, walau gak pernah di depan kita, sih. Hebat kalo lo gak ikut-ikutan. Katanya bisa buat ringanin pikiran. Emang bener, ya?"
"Gak tau. Gak pernah coba dan gak bakal mau nyoba," jawab Raka datar.
Hasya mendelik heran. "Idiiiih, emangnya lo gak penasaran rasanya kayak gimana?"
"Gak."
"Kenapa, gitu?"
"Masa depan gue udah suram, gak mau gue bikin suram lagi gara-gara gak bisa jaga paru-paru. Lagian gue bisa lampiasin stres ke game, bukan rokok."
Hasya mengangkat pandangan, memperingati, "Heh, jangan ngomong gitu, ah. Masa depan lo bakal cerah, kok. Nanti Bunda sedih kalo di sini lo malah ngomong yang nggak-nggak."
"Iya. Maaf."
"Yaaa... jangan diulangin lagi."
Raka bergerak tak nyaman. "Baterai gua abis. Gak bawa cas, gak bisa mabar, gak bisa nonton anime, gak bisa stream MV. Cerita dah, Ca. Bosen gua."
Pantesan nyamperin gue. Kan, lagi gabut.
"Cerita sedih adanya," ujar Hasya lempeng. "Mau emang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SOULWAVE
Roman pour AdolescentsHow does it feel when the someone who gave you the best memories, becomes a memory? Cover made by @simplifikasi on insta © 139zahraas, 2022. Written in Indonesian.