1 | Memulai Kembali

7.9K 1.3K 137
                                    

"Raya, besok kamu jadinya pindahan jam berapa?"

Aku yang tengah mengunyah nasi goreng sarapanku melirik pada sosok wanita paruh baya yang juga tengah duduk menikmati sarapannya di hadapanku. "InsyaAllah pagi, Tante. Mungkin sekitar jam delapan," jawabku setelah menelan nasi yang telah lumat kukunyah.

"Kamu jadi mau pinjam mobil Ninda?"

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Tante Kinan. "Iya, Tan, pinjam mobil Ninda. Nanti sore Ninda datang ke sini antar mobilnya."

Tante Kinan meletakkan sendok dan garpu yang tadi dipakainya makan ke atas piringnya yang sudah kosong. "Ya, kamu kan ada mobil, kenapa gak pakai mobil itu aja?"

Aku tersenyum kecut dan menggeleng pelan. Meski mobil yang terparkir di garasi rumah ini memang telah diberikan padaku, namun aku enggan menganggap itu sebagai milikku. Terlalu berat rasanya untuk mengendarai mobil itu.

"Mobil Ninda lebih luas, Tan," kilahku yang tak sepenuhnya berbohong. "Oh iya, Raya juga sewa truk, Tan. Raya udah DP ke supirnya kemarin. Besok tinggal datang ke sini aja," lanjutku mengalihkan topik pembicaraan.

Dahi Tante Kinan mengerut mendengar penjelasanku. Ia bahkan buru-buru meletakkan gelas yang tengah ia teguk airnya.

"Sewa truk? Bukannya kamu tinggal bawa pakaian aja?" tanyanya.

"Iya, Tan, truk buat angkut motorku. Sama buat bawa beberapa barang kayak rak sepatu yang Raya baru beli kemarin. Takutnya kurang, Tan, kalau cuma pakai mobil Ninda aja. Jadi ya sekalian aja pakai truk biar Raya gak bolak-balik ke sini. Selain itu biar tempat ini bisa secepatnya diisi sama penghuni barunya juga."

Tante Kinan manggut-manggut mendengar penjelasanku. "Hmm iya juga kamu ada beli beberapa barang ya tempo hari. Oh iya, Raya, nanti Tante nginap beberapa hari di rumah baru kamu boleh ya? Soalnya Tante masih khawatir ninggalin kamu di lingkungan baru sendiri."

Aku tersenyum menyambut niat Tante Kinan. Sejak mamaku meninggal sewaktu aku lulus SMA, Tante Kinan telah menjadi sosok pengganti Mama bagiku. Ia selalu menyayangi dan mengkhawatirkanku selayaknya yang ia lakukan pada anak-anak kandungnya sendiri.

"Makasih banyak, Tante. Maaf ya Raya sering repotin Tante," ujarku seraya mengulurkan tanganku untuk menggenggam satu tangannya yang menganggur di atas meja.

Tante Kinan menepuk punggung tanganku pelan. "Ah, kamu ini kayak sama siapa aja. Kamu tuh udah jadi anak Tante juga, Ya. Semoga kamu betah di rumah barumu nanti ya dan yang paling penting semoga kamu bahagia tinggal di sana," ujarnya.

Aku mengangguk mengiyakan. "Bismillah, do'ain Raya ya, Tante. Semoga kepindahan Raya ini memang keputusan terbaik."

Sejujurnya ada sedikit perasaan sedih untuk pindah dan tinggal jauh dari Tante Kinan. Namun, perasaan itu kalah besar dengan rasa sesak yang selalu kudapatkan selama tinggal di tempat ini.

Aku bahkan tak bisa menyebut tempat yang kutinggali selama kurang lebih enam tahun ini sebagai 'rumah', sebab pada kenyataannya aku memang tidak pernah merasakan tempat ini sebagai tujuanku untuk pulang. Setiap saat aku berada di luar, alih-alih merindukan untuk segera kembali, aku malah ingin melarikan diri dari sini. Sayangnya saat itu aku sama sekali tak berdaya. Pada masa itu aku bak seorang hamba yang diperbudak oleh cinta. Dan meskipun kini aku telah merdeka dari semua itu, luka batin yang kudapat karenanya tetaplah meninggalkan bekas.

"Mama..."

Sebuah suara lelaki yang belum memasuki masa puber menyapa indera pendengaranku. Menolehkan kepalaku, aku mendapati putraku dengan rambut dan bajunya yang sedikit berantakan khas orang yang baru bangun tidur. Melihat sosoknya yang berjalan mendekatiku dengan satu tangan mengucek sebelah matanya, aku tersenyum dan membuka tanganku lebar-lebar untuk menyambutnya ke pelukanku.

"Jagoan Mama baru bangun. Mau mandi dulu apa sarapan dulu, Sayang?" tanyaku padanya setelah ia menyandarkan tubuhnya di dadaku.

"Mandi," jawabnya pelan dengan suara yang masih parau.

"Oke, let's go!" sahutku seraya berdiri dan membawanya ke kamar mandi.

"Azzam mandi sendiri ya, Sayang. Mama siapin bajunya di kamar," titahku padanya selagi tanganku membantunya membuka kancing piyamanya.

Azzam mengangguk dan begitu kancing bajunya terlepas semua ia lantas menuju kamar mandi. Aku pun masuk ke kamar Azzam untuk mengambilkannya baju dari lemari pakaiannya. Setelah menaruh setelan atasan dan celana yang telah kupilih di atas kasur, aku mengetuk pintu kamar mandi untuk memberitahu Azzam agar segera ke ruang makan lagi usai mengenakan pakaiannya.

"Ya, ngomong-ngomong Tante jadi khawatir deh. Azzam beneran gak apa-apa nanti di sana dititip ke daycare?" Begitu aku kembali ke ruang makan, Tante Kinan langsung menanyakan soal itu.

Alih-alih duduk kembali di tempatku tadi, aku menarik kursi untuk duduk di sebelah Tante Kinan. "InsyaAllah sih gak apa-apa, Tan. Reputasi daycare itu bagus kok, dan lagi mereka juga punya program edukasi. Jadi ya hitung-hitung Azzam sekalian belajar lagi kayak waktu di taman kanak-kanak."

Mendengar penjelasanku, Tante Kinan menatap lurus manik mataku. "Kamu kayaknya sudah benar-benar memperhitungkan segala hal untuk keluar dari rumah ini ya," ujarnya.

Aku hanya bisa tersenyum simpul karena memang begitu kebenarannya. Bila diibaratkan dengan hewan, mungkin aku adalah burung yang baru saja lepas dari sangkar yang selama ini memenjarakanku di dalamnya. Selama terkurung dalam sangkar ini, aku selalu membayangkan indahnya kebebasan. Dan ketika aku mendapatkannya kini, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk terbang sejauh mungkin.

"Mamaa." Suara Azzam lagi-lagi mengalihkan kenangan pahit yang kembali terputar dalam kepalaku. As always, Azzam is my savior. Dia adalah satu-satunya alasan aku masih memiliki keinginan untuk melanjutkan hidupku.

"Wah, anak Mama makin ganteng kalau habis mandi," sahutku sambil melempar senyum padanya yang berjalan menghampiriku. Kemudian, aku membantunya untuk menduduki kursi kosong di sebelahku.

"Mau itu, Ma," katanya dengan jari telunjuknya yang menunjuk pada wadah nasi goreng di meja.

Aku mengangguk kemudian menyendokkan satu centong nasi goreng ke atas piring yang masih kosong dan meletakkannya di depan Azzam. "Baca do'a dulu ya, Sayang," kataku mengingatkannya sebelum makan.

Azzam membuka kedua telapak tangannya seraya membaca do'a sebelum makan. Setelahnya, dengan lahap ia memakan nasi goreng yang telah kusiapkan untuknya.

"Enak, Jagoan?"

Azzam menganggukkan kepalanya. Seolah tak cukup dengan itu, ia bahkan juga mengacungkan ibu jarinya. "Masakan Mama selalu enak!" serunya.

Aku tersenyum bangga. Tidak, bukan karena masakanku enak melainkan karena putraku tahu bagaimana caranya menghargai usaha seseorang. Tidak seperti... ah, sudahlah aku tidak seharusnya mengingat orang itu lagi. Mungkin memang aku harus secepatnya keluar dari rumah ini agar aku dapat memulai kembali hidupku tanpa bayang-bayang masa laluku yang kelam lagi.

***

To be continue
==============================

Jalan Raya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang