7 | Power

4.6K 1K 28
                                    

Tadinya aku sudah bertekad menunggu pria itu keluar dari ruangan Pak Wildan untuk memastikan sekali lagi kalau pria itu mengenalku atau mungkin saja aku pun pernah mengenalnya. Sayangnya aku punya kewajiban lain yang akhirnya menghalangi rencanaku. Aku mendapat telepon dari admin fakultas ilmu komunikasi (yang kemudian disingkat menjadi fasilkom) untuk datang ke sana guna rapat bersama dengan para mahasiswa dan mahasiswi yang telah dipilih untuk membantu dalam kegiatan campus go to school nanti.

Usai menjelaskan secara garis besar mengenai tugas, waktu, juga fee yang akan didapat dari kegiatan campus go to school kepada para mahasiswa dan mahasiswi terpilih, aku secepat mungkin langsung keluar dari fasilkom dan menuju tangga darurat untuk kembali ke ruang humas di lantai dasar.

"Mbak, tamunya Pak Wildan udah turun belum?" Aku langsung bertanya pada Mbak Sania begitu aku sampai di dalam ruangan.

"Tamu Pak Wildan? Oh, cowok tadi? Udah pergi daritadi sih. Kenapa emang?"

Yaaah! Meski dalam hati kecewa, aku hanya bisa bilang tidak apa-apa pada Mbak Sania. Sambil mengatur napas yang masih terengah-engah karena berlari menuruni tangga dari lantai enam, aku pun melanjutkan langkah untuk duduk di kursiku. Ah, ya sudahlah, mungkin aku memang tak perlu terlalu memikirkan hal itu. Mari anggap saja perihal nama itu hanya kebetulan. Oke, Raya, mari kembali fokus bekerja!

"Ya, ngomongin soal tamu Pak Wildan tadi..."

Ah, Mbak Sania ini, gumamku dalam hati. Baru aku mau mulai mengerjakan tugasku untuk membuat daftar pembagian tim promosi, eh Mbak Sania malah bisa-bisanya memancing obrolan yang memecah fokusku.

"Kayaknya dia orang penting deh," ujar Mbak Sania mengungkapkan prediksinya.

"Kenapa emangnya? Kok Mbak mikir gitu?"

"Pak Wildan sering dapat tamu, tapi baru kali ini nganterin tamunya sampai keluar pas balik. Pak Wildan kan paling males tuh yang namanya naik-turun tangga. Kalau udah di atas, dia cuma turun lagi pas jam balik kerja atau ada rapat. Sama jam makan siang deh kalau lagi gak bawa makanan dari rumah. Mana pernah Pak Wildan keluar kalau gak penting-penting amat."

Analisa Mbak Sania ada benarnya juga sih. Sebelumnya saja sampai Pak Wildan sendiri yang menyambutnya lalu memandunya ke ruangannya. Biasanya kalau ada tamu, paling ia menyuruhku atau Mbak Sania untuk mengarahkan tamu itu naik ke ruangannya. Pak Wildan itu tipikal yang kalau udah kena bangku, badannya kayak dilem, alias males bangun lagi. Hanya hal-hal bersifat penting saja yang bisa membuat Pak Wildan mau mengeluarkan effort untuk bangun dan keluar dari ruangannya. Jadi kemungkinan besar lelaki bernama Jibran tadi memang tamu penting.

"Bener juga sih. Kepikiran aja dah lu, Mbak," sahutku.

Mbak Sania tiba-tiba saja tertawa dan memukul pelan bahuku. "Ya, kayaknya anak gue cewek deh," ujarnya sambil mengusap perutnya. Iya, Mbak Sania saat ini tengah hamil tujuh bulan.

Dahiku sedikit mengerut. Kenapa tahu-tahu jadi bahas anak? Kok ya ini ibu hamil random banget? "Emang lu udah nanya pas USG, Mbak? Kata lu waktu itu gak mau dikasih tahu jenis kelaminnya?" tanyaku.

"Emang enggak. Gue feeling aja. Soalnya gue jadi gampang berprasangka gitu sama orang. Persis kayak cewek lagi overthinking," ujarnya.

Oh astaga, jadi itu maksudnya! "Curigaannya sudah men-DNA ya, Bun," sahutku. Emang dah cewek sama rasa penasaran berlebih tuh udah sepaket.

"Iya, ih! Asli bener ini mah, Ya, anak gue cewek. Fix!" Mbak Sania serta-merta langsung seyakin itu dengan jenis kelamin anaknya. Aku jadi tertawa melihat tingkahnya. Ibu hamil tuh kadang emang ada aja kelakuannya. Baru saja aku hendak menyahutinya lagi, sebuah pesan yang masuk ke ponselku membuatku teralihkan. Anehnya, Mbak Sania pun ikut melihat ponselnya.

Jalan Raya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang