11 | Otoriter or Care?

4K 1K 28
                                    

Aku menekan kunci tombol ponselku hingga layarnya menyala. Padahal aku baru saja melakukan hal serupa lima menit lalu tapi kini tanganku kembali melakukannya lagi. Kulihat digit jam di ponselku kali ini menunjukkan pukul 11:22. Aku sebaiknya ke ruangan Pak Jibran sekarang atau nanti saja ya jam setengah dua belas tepat? Kalau aku pergi sekarang, mana tahu selesainya bisa lebih cepat jadi aku masih sempat makan siang ke kantin lah minimal. Tapi... kalau aku pergi sekarang juga takutnya Pak Jibran nyangka aku semangat banget mau ketemu dia.

"Heh, liat handphone terus. Gak ke atas lu, Ya?" tegur Mbak Sania padaku seolah bisa membaca kalau hatiku tengah bimbang.

Aku mengerucutkan bibirku seraya menoleh ke arahnya. "Ntar aja kali ya, Mbak? Pas jam setengah dua belas tepat gitu?" tanyaku meminta pendapatnya.

Mbak Sania tertawa pelan. "Kenapa kaku banget sih? Sekarang juga gak apa-apa, Ya. Lagian..." Mbak Sania menggantung kalimatnya. Ia menoleh ke sekeliling seolah tengah mengecek keadaan sekitar sebelum kemudian menggeser kursinya ke dekatku. "Pak Jibran kan anaknya Pak Ridwan, mana tahu dia di sini buat nilai kinerja kita, ya kan?" lanjutnya kemudian dengan suara yang lebih pelan.

Aku terdiam. Mungkin saja ucapan Mbak Sania itu ada benarnya juga sih. "Jadi gue ke atas sekarang aja nih ya, Mbak?" tanyaku dan Mbak Sania mengangguk.

"Lebih cepat lebih baik."

Meski agak berat, aku akhirnya mengangguk. Tanganku bergerak untuk menumpuk semua file-file yang harus kubawa ke ruangan Pak Jibran agar memudahkanku untuk membawanya.

"Lu mau nitip apa gak gitu buat makan siang? Nanti gue beliin dulu deh," tawar Mbak Sania.

Pengin bakmie, tapi mana enak kalau udah dingin mienya pasti mekar. "Nitip roti cokelat aja deh, Mbak," kataku akhirnya.

"Roti aja?" Mbak Sania memastikan dan aku mengangguk.

"Gue ke atas dulu ya, Mbak," pamitku yang kemudian menyusuri anak tangga untuk sampai ke lantai dua ruang humas dan berjalan menuju ruang Pak Jibran─yang mana merupakan ruangan Pak Wildan dulu.

Menarik dan mengembuskan napas sesaat di depan pintu ruangan Pak Jibran, aku kemudian mengetuk pintunya sebanyak tiga kali sebelum kemudian membukanya.

"Permisi, Pak," sapaku. Pak Jibran yang nampak sedang fokus dengan komputer di hadapannya melirikku sesaat lalu menyuruhku masuk.

Usai memutup pintu, aku pun berjalan menghampiri meja Pak Jibran dan meletakkan dokumen-dokumen yang kubawa di atasnya. "Ini data yang Bapak minta," kataku.

Pak Jibran nampak menilik tumpukkan file yang kuletakkan sebelum kemudian mengangguk. "Oke, thank you. Silakan kamu duduk dulu," katanya.

Aku mundur beberapa langkah untuk duduk di sofa. Begitu aku hendak duduk, aku dikagetkan dengan suara Pak Jibran yang menegurku.

"Raya? Ngapain?"

Lah, kok ditanya? Tadi kan dia yang suruh aku duduk. "Mau duduk, Pak," jawabku.

Entah aku salah lihat atau bagaimana, tapi sepertinya sekilas aku baru saja melihat bibir Pak Jibran melengkungkan senyum.

"Ya gak jauh banget gitu dong, terus saya gimana mau diskusinya? Maksud saya duduk di sini," katanya menunjuk kursi kosong di depan meja kerjanya.

"Oohh, hehe." Aku meringis pelan dan tersenyum canggung sebelum kembali melangkah mendekat ke meja kerja Pak Jibran. "Maaf, Pak," kataku seraya duduk di hadapannya.

"Kamu sudah kerja di sini berapa lama?" tanyanya selagi tangannya mengambil salah satu file yang kubawa tadi dan memeriksanya.

Aku menghitung jarak tahun awal aku bekerja di sini sampai dengan tahun sekarang. "Hampir lima tahun, Pak," jawabku.

Jalan Raya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang