Jika kemarin aku pergi kerja dengan langkah seringan kapas, kini bahkan untuk melangkah masuk ke dalam ruang humas pun kakiku terasa berat. Aduh, gimana ini? Rasanya aku gak sanggup untuk melihat wajah Pak Jibran, apalagi menjadi asistennya seperti yang Pak Wildan minta. Apa aku resign aja ya?
Mana bisa, Raya! Resign pun gak langsung hari ini juga bisa keluar. Lagipula cari kerja itu susah. Ingat, kamu punya anak yang harus dicukupkan kebutuhan hidupnya! Logikaku serta merta langsung memaki perasaan putus asaku itu.
Menghirup napas dalam-dalam, aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Aku harus bersikap profesional. Ya, benar begitu...
Tapi aku malu ya Allah! batinku kembali menjerit.
Aku kembali menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Sudah lebih dari sepuluh menit aku duduk di bangku teras kampus untuk memperoleh ketenangan diri tapi tetap saja aku tidak mendapatkannya. Apa aku pulang lagi aja ya? Sakit gitu bilangnya.
"Raya, kenapa gak masuk ke dalam?"
"Iya, sebentar lagi," sahutku cepat.
Usai mengatakan itu barulah otakku berpikir. Siapa yang bertanya? Kok dia bisa mengenaliku padahal wajahku kan tengah kututupi dengan kedua tanganku. Dan lagi suara ini...
Aku lantas mendongak dan mendapati mataku bertemu pandang dengan seseorang yang membuatku gelisah sejak semalam. Meneguk saliva sesaat, aku lantas berdiri sambil membenahi rambutku yang berantakan karena kuacak-acak sendiri tadi saking pusingnya.
"Pagi, Pak," sapaku dengan kepala yang menunduk. Demi etika kesopanan sekaligus juga karena aku masih belum berani melihat wajahnya.
"Kamu ngapain duduk di sini bukannya masuk ke dalam?"
"Ehm... itu... saya... saya lagi mikir taruh dompet di mana, Pak," kilahku sembari meringis pelan.
"Dompet kamu jatuh? Berasa gak ada nya pas di mana? Perlu saya bantu cari?"
Aku mendongak menatap wajah Pak Jibran. Raut cemas itu... mengapa terasa begitu natural? Seolah ia betul-betul khawatir akan keadaanku yang kehilangan dompet─padahal tidak. Dan lagi, kenapa situasi ini terasa seperti dejavu? Apa mungkin aku pernah mengalami ini sebelumnya? Tapi sepertinya enggak ah. Kurasa satu-satunya interaksiku dengan Pak Jibran di masa lampau hanya pada saat ia mengantarku pulang ke rumah saat pingsan. Itu pun tak bisa dibilang interaksi juga sih karena aku dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Raya?" teguran itu kembali menyadarkanku. Aku mengerjap sesaat sebelum kemudian menggoyangkan kedua tanganku untuk menolak bantuan yang ia tawarkan tadi.
"Gak usah, Pak. Kayaknya sih ketinggalan di rumah. Nanti saya tanya ke Tante saya."
Pak Jibran nampak ingin mengatakan sesuatu dari gerak bibirnya, namun entah apa yang dipikirkannya sehingga ia urung untuk menyuarakannya. Yang keluar dari bibirnya pada akhirnya hanyalah perintah agar aku masuk ke dalam.
Begitu aku masuk ke ruangan bersama Pak Jibran, aku terkejut karena beberapa rekanku berdiri berbaris seolah memang telah menunggu.
"Selamat pagi Pak Jibran, mohon kerjasamanya," ujar mereka kompak begitu Pak Jibran masuk ke ruangan. Aku yang berdiri di belakang Pak Jibran sukses dibuat menganga melihatnya. Ini kenapa gak ada yang bilang kalau mereka mau menyambut Pak Jibran?
Aku lantas langsung mengambil langkah cepat untuk berdiri di sebelah Mbak Sania yang berada di paling ujung. "Kok gak bilang sih, Mbak, ada sambutan gini?" bisikku mengeluh padanya.
"Lah, udah dibilang di grup," sahut Mbak Sania. Ya ampun aku gak buka ponsel daritadi gara-gara sibuk mikirin perihal Pak Jibran yang ternyata seniorku dulu! Ini ada pusaran air gak sih? Pengin masuk ajalah aku ke dalam situ. Malu banget!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Raya [Sudah Terbit]
ChickLitTelah diterbitkan oleh Diandra Creative Pembelian novel dapat dilakukan di: • Shopee Penerbit Diandra Creative: https://shopee.co.id/Pre-Order-Jalan-Raya-Atyampela-Soft-Cover-i.6814534.19949775443 • Tokopedia Penerbit Diandra Creative: https://www.t...