"Assalamualaikum." Membuka pintu rumah, aku kemudian lantas menuju sofa untuk mengistirahatkan tubuhku di atasnya. Kuregangkan otot-otot punggung juga pinggangku hingga terdengar pelan tulangku berbunyi. Ah, rasanya hari ini cukup melelahkan.
"Wa'alaikumsalam." Menjawab salamku, Tante Kinan keluar dari kamar Azzam seraya mengenakan hijabnya. Biasanya Tante Kinan hanya melepas hijabnya saat mandi atau tidur. Karena baju Tante Kinan masih sama dengan bajunya yang kulihat pagi ini, berarti kemungkinan Tante Kinan tadi sedang tidur dan jadi terbangun karena mendengar suaraku.
"Lagi istirahat ya, Tante? Maaf jadi keganggu deh," kataku seraya mengulurkan tanganku untuk kemudian meraih tangannya dan mengecup punggung tangannya.
Tante Kinan menggeleng pelan lalu ikut duduk di sebelahku. "Tante cuma lagi tiduran santai aja," katanya. Sesaat kemudian mata Tante Kinan menyipit melihat keluar jendela. Ia seperti melihat sesuatu yang aneh.
"Loh, Ya, mobil Ninda kemana? Kok gak ada?" tanyanya setengah memekik kaget karena tak mendapati mobil Ninda terparkir di depan rumahku.
Aku tersenyum dan mengusap pelan paha Tante Kinan. "Tenang, Tan, gak hilang kok," kataku. "Tadi Raya sekalian balikin mobilnya ke Ninda, Tan. Terus Raya pulang ke sininya naik taksi. Raya gak enak kalau minjamnya kelamaan, takut Ninda mau pakai juga," kataku.
Tante Kinan membulatkan bibirnya mendengar penjelasanku. "Ooh, berarti tadi kamu ke tempat Ninda dulu atau ketemuan di luar?"
"Ke tempat Ninda, Tan. Sekalian aku pamitan juga ke mamanya Ninda." Aku dan Ninda berteman sudah sejak sekolah dan mamanya Ninda juga sangat baik padaku seolah aku telah menjadi bagian keluarganya. Jadi gak enak rasanya kalau aku pindah dan tidak berpamitan dengannya.
"Berarti kamu lama di tempat Ninda ya?" tanya Tante Kinan dan aku mengangguk. "Tante kira kamu pergi lama sama Nadira," lanjutnya kemudian
"Enggak, Tan. Sama Mbak Nadira mah tadi nyerahin mobil yang di tempat lama aja. Abis itu Raya langsung ke rumah Ninda deh. Eh, tadi mamanya Ninda masakin ayam panggang dan Raya diajak makan dulu, jadi aku gak enak kalau nolak. Ya udah aku makan dulu di sana sambil ngobrol-ngobrol. Oh iya, ngomong-ngomong Tante udah makan?"
"Udah kok tadi," jawabnya.
"Alhamdulillah."
"Kalau Azzam gimana, Ya, pas ke daycare? Rewel gak pas sampai sana?"
Mendapat pertanyaan itu dari Tante Kinan membuatku jadi teringat kembali bagaimana gagahnya putraku saat memasuki lingkungan barunya untuk pertama kalinya. Kebanyakan anak biasanya akan rewel atau bahkan menangis saat harus berada di tempat baru tanpa orang yang dikenalnya, tapi putraku terlihat baik-baik saja.
"Gak rewel sama sekali, Tan. Malah aku yang sempat gugup. Azzam sih kayaknya biasa aja. Mungkin dia anggap daycare itu sama aja kayak di TK. Cuma waktunya yang lebih lama."
Tante Kinan mengembuskan napas lega. "Syukurlah kalau gitu. Mudah-mudahan Azzam bisa terbiasa dengan hidup barunya sekarang."
Aku tersenyum dan mengangguk. "Aamiin," sahutku.
"Hmm... Ya, Tante mau tanya," Tante Kinan tiba-tiba mencondongkan arah duduknya ke arahku dan menatapku dengan serius. Karena perubahan posisi dan raut wajahnya itu aku pun jadi ikut menegakkan tubuhku mendekat padanya.
"Kenapa, Tan?"
"Ya, kamu kan baru pindah ke sini nih, kamu ada rencana mau bikin kue atau snack gitu gak terus dibagi ke tetangga sekitar sekalian kenalan sama mereka. Ya minimal sama yang tinggal tepat di sebelah kiri, kanan dan depan kamu gitu."
Jujur, aku sama sekali gak ada pemikiran ke situ sih. Soalnya dulu waktu aku menempati tempat tinggalku sebelumnya pasca menikah, aku bahkan dilarang untuk berinteraksi dengan tetangga. Katanya bertetangga hanya akan membuatku jadi penggosip. Dulu aku sih manut saja, kupikir ya ada benarnya juga karena cewek-cewek pas ngumpul tuh kalau gak ghibah ya ngunyah.
Aku bahkan tidak pernah mempertanyakan kenapa tembok pemisah dengan rumah di kiri dan kanan dibangun dengan begitu tinggi hingga hampir menyamai atap lantai dua. Kalau hanya untuk sekadar batas wilayah, semestinya setara pagar besi di depan rumah saja sudah cukup kan? Dulu kupikir dibangunnya tembok seperti itu demi alasan keamanan, tetapi kini kusadari sepertinya itu lebih bertujuan untuk pengasingan.
Oh iya, kembali ke topik bagi-bagi makanan yang Tante Kinan tanyakan, "Kalau bikin kue sih kayaknya aku gak sempat ya, Tan. Lagipula bahan-bahan kue juga aku gak punya. Gimana kalau nanti aku pesan online aja. Mini donut box gitu oke gak, Tan?" tanyaku.
"Apa aja oke kok, Ya. Asal buat souvenir perkenalan aja gitu atas kedatangan kamu ke daerah sini. Cuma buat formalitas aja seenggaknya kita gak bertamu dengan tangan kosong ke tempat mereka."
Aku manggut-manggut menyetujui opini Tante Kinan. "Ya sudah kalau gitu aku langsung pesan deh nih. Mending dibagi langsung pas donatnya datang atau gimana, Tan?" tanyaku lagi. Ya maklum deh kalau banyak nanya. Namanya juga pertama kali aku bagi-bagi snack buat kenalan sama tetangga begini. Dulu mah boro-boro bisa bertetangga, keluar rumah saja susah banget dapat izinnya.
"Dibaginya nanti saja agak maleman, Ya. Kalau sekarang takutnya lagi pada banyak aktivitas masing-masing. Gak enak nanti kita jadi ganggu kalau bertamu sekarang."
"Hmm gitu ya. Berarti sore aja kali ya habis Raya jemput Azzam? Jadi Azzam bisa sekalian ikut. Nanti Tante tolong temanin Raya ya kelilingnya. Sekalian kita ke rumah Pak RT deh ya, Tan, buat lapor."
Tante Kinan mengangguk mengiyakan ajakanku. Setelahnya Tante Kinan pun pamit kembali ke kamar untuk melanjutkan istirahatnya. Sementara itu aku lanjut bersandar di sofa sembari tanganku mengambil ponselku dan membuka aplikasi pesan makanan online.
Membagikan makanan, berkenalan, lapor diri, semua itu benar-benar baru bagiku. Tersenyum kecut, aku menyadari betapa aku begitu kekurangan bersosialisasi sebelumnya. Yah, bagaimana mau sosialisasi jika satu-satunya tempat yang bisa kudatangi sendirian hanyalah tempat kerjaku. Itupun di bawah pengawasannya.
Mendesah pelan, aku menggelengkan kepalaku untuk menepis kenangan buruk di masa laluku yang kembali memutar dalam pikiranku. Seharusnya aku tak perlu memikirkan masa laluku lagi karena sekarang aku sudah tak memiliki ikatan apa-apa lagi dengan sosok yang selama ini memenjarakan kebebasanku itu.
Jika aku terus membandingkan kehidupan lamaku dengan yang sekarang tengah kujalani tentulah tak akan ada habisnya karena perbedaan diantara keduanya terlalu jauh. Dulu diri ini bak boneka barbie. Terlihat cantik di mata orang, difasilitasi segalanya, tapi sayang tak punya kuasa atas dirinya sendiri. Kini diriku adalah sepenuhnya milikku sendiri. I'm not his barbie girl anymore and now i'm living in my own world.
***
To be continue
Follow me on instagram: @atyampela
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Raya [Sudah Terbit]
ChickLitTelah diterbitkan oleh Diandra Creative Pembelian novel dapat dilakukan di: • Shopee Penerbit Diandra Creative: https://shopee.co.id/Pre-Order-Jalan-Raya-Atyampela-Soft-Cover-i.6814534.19949775443 • Tokopedia Penerbit Diandra Creative: https://www.t...