12 | Sang Penolong

3.9K 983 34
                                    

Selagi menyantap makan siang berupa nasi ayam katsu yang Pak Jibran belikan, aku sesekali mencuri pandang ke arahnya yang sibuk membaca laporan yang kuberikan sambil menyantap makannya. Sekian detik kutatap wajahnya, lalu kemudian kupalingkan lagi pandanganku pada box makananku agar tidak kepergok seperti tadi kalau aku tengah memperhatikannya.

Ada sesuatu yang mengusik perasaanku. Pak Jibran ini wajahnya betul-betul familier hingga entah kenapa aku merasa kalau aku memang pernah melihatnya di luar dari foto keluarga yang diunggah Pak Ridwan di laman sosial medianya. Apalagi sekarang aku sudah tahu kalau dia adalah seniorku dulu. Apa mungkin kami pernah tatap muka? Selain saat ia mengantarku yang pingsan pulang ke rumah tentunya.

"Dompet kamu jatuh? Berasa gak ada nya pas di mana? Perlu saya bantu cari?"

Perkataannya tadi pagi juga entah kenapa membuatku merasa dejavu. Seolah aku pernah mendengar pertanyaan serupa diutarakan kepadaku. Tapi... di mana ya? Sambil melumat hingga halus nasi dan ayam di dalam mulutku, otakku berpikir keras. Berusaha menemukan di mana memori itu terselip.

Aku pernah kehilangan uang, tapi tidak ada yang bertanya seperti itu padaku. Aku juga pernah kelupaan meninggalkan kunci motorku di parkiran, tapi bukan tawaran bantuan seperti itu yang kudengar melainkan omelan dari Ninda atas kecerobohanku. Lalu aku juga pernah tak sengaja menjatuhkan... astaga! Mataku terbelalak kala aku akhirnya mendapatkan memori itu.

Glek!

Kerongkonganku tiba-tiba saja jadi merasa sulit menelan makanan yang sudah lumat kukunyah, padahal sebelumnya tidak seperti itu. Sama halnya seperti detak jantungku yang saat ini berdebar tak karuan padahal sebelumnya biasa saja. Ternyata benar, aku memang pernah bertemu Pak Jibran sebelumnya...

Bibirku tak henti melengkungkan senyum tiap kali aku melihat diriku di pantulan cermin lipat kecil yang selalu kubawa kemana-mana. Aku bukannya tengah mengagumi kecantikanku. Aku tidak menggilai diriku sendiri seperti itu. Yang sejak tadi kutatap berkali-kali lewat cermin adalah sebuah benda kecil yang mengait dengan pas di lubang telingaku. Anting emas yang baru saja kudapatkan dari kekasihku kemarin malam. Bentuknya sebenarnya tidak terlalu spesial, namun karena orang spesial yang memberikannya padaku maka benda kecil ini menjadi begitu berarti bagiku.

Entah sudah kali ke berapa aku menyingkap rambutku ke belakang daun telinga hanya untuk melihat keberadaan anting-anting itu di telingaku lalu kemudian menutupnya kembali.

Senggolan pada tanganku yang tengah merapikan rambutku membuatku menoleh pada pelakunya. Ninda sudah menatapku dengan pandangan heran. "Ngapain sih lu tumben ngaca mulu? Lagi ada jerawat?" tembaknya yang sayangnya salah sasaran.

Aku mengekeh pelan kemudian kembali menyingkap rambut dari daun telingaku. Kutunjuk anting berbentuk hati yang terpasang di lubang telingaku. "Bagus ya?" tanyaku padanya.

Ninda memegang daun telingaku selagi kepalanya mendekat untuk melihat lebih jelas. Setelahnya ia malah iseng menjewer telingaku. "Ciyee baru dibeliin Mas Adi ya?" godanya.

Meski sempat mengaduh, aku kemudian langsung tersenyum begitu mendengar nama kekasihku disebut. "Iya, Nin. Padahal gue gak lagi ulang tahun tapi tahu-tahu dibeliin anting," aduku.

"Enak bener ya pacaran sama yang udah mapan mah. Kalau Mas Adi ada temen yang jomlo, tolong kenalin ke gue, Ya," katanya penuh harap dan aku membalasnya dengan acungan jempol.

"Baik, materi kita hari ini sudah selesai. Silakan ketua kelas untuk mengabsen." Pak Firman yang mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia pun lantas duduk di kursinya bergantian dengan Harry─ketua kelas di mata kuliah ini─yang berdiri maju ke depan untuk mengabsen kehadiran kami. Dulu kukira di perkuliahan itu tak ada lagi ketua kelas macam di sekolah, tapi ternyata aku malah memiliki beberapa ketua kelas dari kelas mata kuliah yang berbeda-beda.

Jalan Raya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang