6 | Siapa Dia?

4.9K 1K 31
                                    

"Berangkat kerja, Bu Raya?"

Aku membalas pertanyaan itu dengan senyuman. Jadi begini rasanya bertetangga? Keluar rumah ada yang menyapa.

Kemarin malam aku sudah berkenalan dengan beberapa penghuni rumah yang berada di sekitarku dan syukurlah respon mereka cukup baik menyambut kedatanganku di lingkungan ini. Hanya saja ada beberapa dari mereka yang tak menyangka kalau aku adalah single parent tapi sejauh yang aku lihat sih mereka tidak menjadikan itu bahan pembicaraan lebih lanjut jadi ya aku juga tak mau memusingkannya. Lagipula menjadi single parent itu kan bukan aib jadi aku tak perlu merasa malu untuk mengakui kalau aku memang telah bercerai.

"Mari, Bu, saya duluan ya," pamitku usai menutup kembali pintu gerbang lalu melajukan motorku dengan Azzam yang duduk manis di belakangku.

Hari ini aku mulai kembali bekerja. Ah, sepertinya aku belum pernah berangkat bekerja dengan rasa semangat seperti ini. Walau matahari masih belum begitu terik, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat cerah suasana hatiku.

Sebelum berangkat ke tempat kerjaku, tentu saja aku mengantar Azzam ke daycare terlebih dahulu. Menghentikan motorku di lahan parkir, aku pun ikut turun dari motor guna mengantar Azzam sampai ke dalam.

"Dadah, Mama."

Aku sedikit tersentak manakala Azzam meraih tanganku dan mengecupnya padahal kami masih di depan teras, belum sampai melewati pintu masuk.

"Loh, kok udah bilang dadah aja sih, Sayang? Kan kita belum sampai dalam," kataku.

"Azzam masuk sendiri gak apa-apa kok. Mama jalan lagi aja. Rumah kita kan sekarang gak dekat sama tempat kerja Mama, nanti Mama telat."

Ya ampun jagoanku! Pagi-pagi sudah dibuat meleleh saja hatiku. Beruntung banget, Nak, jodoh yang akan bersama kamu di masa depan. Tapi lebih beruntung lagi Mama sih karena bisa bersamamu di masa lalu, sekarang dan mudah-mudahan sampai ke depannya juga.

"Benar gak apa-apa, Sayang?" tanyaku memastikan lagi dan Azzam menganggukkan kepalanya.

"Ya sudah kalau gitu kamu masuk deh. Yang akur ya, Sayang, main sama teman-teman. Nanti kalau Mama atau Nek Kinan belum jemput, kamu jangan kemana-mana ya. Tunggu di dalam saja sama Miss, oke?"

Azzam mengangguk mengiyakan pesanku. Usai mengecup puncak kepalanya, aku pun membiarkan putraku masuk ke dalam sendiri. Setelah itu aku kembali ke parkiran dan menyalakan lagi motorku untuk melanjutkan perjalanan.

***

"Pagi Mbak Sania," sapaku pada sosok wanita yang menduduki meja kerja persis di sebelahku.

Melihat kedatanganku, wanita yang biasa kupanggil 'Mbak' itu nampak sedikit terkejut. "Eh, Ya, emang cuti lu udahan ya?" tanyanya.

Aku mengangguk sambil melepas ransel berukuran medium milikku dan menyimpannya di bawah meja kerjaku. Jaket denim yang kukenakan pun kulepas dan kusampirkan di sandaran kursi. "Gue cuma ambil cuti tiga hari kan, Mbak. Jadinya empat hari sih, bonus satunya emang hari libur," jawabku.

"Ooh gue kira lu cuti seminggu. Terus urusan pindahan lu udah beres semua?" tanyanya lagi.

"Alhamdulillah udah beres semua. Kapan-kapan main ya, Mbak, ke rumah gue yang sekarang," tawarku. Mbak Sania adalah rekan kerjaku yang sebenarnya hanya terpaut usia satu tahun di atasku. Namun karena sejak awal aku memanggilnya 'Mbak' sebab mengira usianya jauh di atasku, akhirnya kebiasaan itu jadi terus terbawa hingga sekarang meskipun ia sudah beberapa kali memintaku memanggilnya dengan nama saja.

Aku bekerja sebagai staf divisi humas di salah satu kampus swasta bernama Universitas Binar Bangsa. Dan sejak pertama aku bekerja di sini, Mbak Sania adalah orang yang banyak mengajariku dan memberiku arahan dalam melakukan tugas pekerjaanku. Itulah kenapa kupikir usianya jauh di atasku karena caranya membimbingku yang begitu mengayomi.

Jalan Raya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang