13 | Bohong

3.7K 950 25
                                    

"Uhuk! Uhuk!" Karena terlalu gugup usai mendapatkan kembali memoriku atas lelaki yang duduk di hadapanku ini, aku jadi tersedak.

Tanpa tahu kalau aku gugup karenanya, lelaki yang menyebabkan kerongkonganku terselak ini langsung membukakan botol air mineralku dan menyodorkannya padaku agar aku dapat meneguk air untuk meredakan batukku.

"Kamu gak apa-apa, kan?" tanyanya setelah melihatku meminum air darinya.

Aku melepas botol air dari mulutku kemudian melambaikan tanganku ke hadapannya. "Gak apa-apa, Kak," jawabku refleks.

"Kak?" ulangnya.

Darahku seketika berdesir menyadari kebodohan lain yang baru saja aku lakukan. Kenapa pakai keceplosan sih, Raya?! rutukku dalam hati yang geram akan tindakanku sendiri. Aku diam mematung, tak tahu harus memberi jawaban apa.

Sekian detik hening dengan mata yang saling memandang, sebersit senyum kemudian kulihat merekah di bibir lelaki yang semula memandangku dengan raut bingung. "Sepertinya kamu sudah tahu siapa saya ya?" tanyanya tanpa ragu seolah ia sudah tahu kalau jawabannya tentu saja 'iya'. Aku pun mengangguk karena memang begitulah kenyataannya.

"Apa yang kamu tahu?" tanyanya.

"Emm... Bapak dulu pernah bantu saya mencari anting saya yang jatuh di kampus," kataku.

Pak Jibran menganggukkan kepalanya. "Lalu?" tanyanya lagi. Kesepuluh jemari tangannya saling bertaut menumpu kepalanya, sedang kedua matanya menatap lurus padaku.

Aku diam sejenak. Haruskah kubilang kalau aku juga sudah tahu dirinya pernah mengantarku pulang sewaktu aku pingsan saat ospek? Juga tentang permintaan berkenalannya lewat Ninda yang kutolak? Perlukah kukatakan semua itu? Batinku mencoba menimbang-nimbang jawaban yang harus kuberikan padanya.

Ah, tidak, sebaiknya jangan, putusku dalam hati setelah yakin kalau itu pilihan terbaik untuk saat ini.

"Itu aja, Pak," kataku yang akhirnya memilih menyembunyikan fakta yang sebenarnya.

Pak Jibran masih tetap dengan posisinya untuk sekian detik sebelum kemudian ia melepaskan tautan di kedua tangannya dan mengulurkan tangan kanannya padaku. Tindakannya itu membuatku menatapnya bingung, namun Pak Jibran memberi kode lewat matanya agar aku menyambut uluran tangannya itu. Meski masih heran kenapa tiba-tiba ia mengulurkan tangannya, aku akhirnya menjabat tangannya.

"Kenalin, saya Jibran. Kita satu program studi dulu tapi beda angkatan."

"Aah! Maaf, Pak, saya gak tahu," dustaku. Sebenarnya seharusnya memang aku tidak mengetahuinya sampai detik ini kalau saja aku tidak menunjukkan wajahnya pada Tante Kinan dan menanyakannya pada Ninda. Memang terkadang rasa penasaran yang terlalu tinggi bisa menjadi jebakan untuk diri kita sendiri.

"Gak masalah kok. Wajar kamu gak tahu saya. Saya sendiri aja gak kenal begitu banyak senior di atas saya," katanya.

Aku manggut-manggut menyetujui pernyataannya. Entah dia hanya berusaha menghiburku atau mengatakan keadaannya yang sebenarnya tapi biarlah begini saja. Aku akan tetap menganggap kalau aku tak pernah tahu siapa Pak Jibran sebelumnya. Karena hanya dengan begitu setidaknya aku jadi punya keberanian untuk berhadapan langsung dengannya.

"Anyway, anting kamu yang waktu itu hilang sekarang masih ada?" tanyanya kemudian.

Aku tersentak sesaat karena pertanyaannya sebelum kemudian menggeleng sebagai jawaban.

"Hilang lagi?!" Pak Jibran nampak terkejut, atau mungkin takjub karena berpikir aku kembali menghilangkan anting itu.

Salah satu sudut bibirku kutarik. Sebenarnya aku enggan tersenyum namun aku juga tak ingin menampakkan kesedihanku pada lelaki di hadapanku ini. "Saya jual," ucapku menjawab pertanyaannya.

Jalan Raya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang