16 | Status

3.9K 940 31
                                    

Usai menghabiskan makanan kami─sebenarnya hanya Azzam yang menghabiskannya, aku lantas membawa Azzam ke luar dari resto dan turun ke lantai tempatku memarkirkan mobil.

Sesekali saat berjalan, aku menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan dan benar saja pria asing itu masih berada di sekitar kami dalam posisi yang cukup jauh di belakang. Kecurigaanku kalau ia mengikuti kami pun jadi semakin meningkat. Apalagi ditambah dengan gestur tangannya yang kini memegang ponsel seperti sedang berusaha mengambil fotoku. Aku lantas mengajak Azzam mempercepat langkah untuk menghindarinya.

Saat tanganku menyentuh pintu keluar untuk langsung menuju parkiran lantai dua, aku dikejutkan dengan tepukan tangan yang tiba-tiba saja mendarat di pundakku. Refleks, aku berteriak karena terkejut juga takut. Namun begitu melihat siapa pemilik tangan yang menepuk pundakku, seketika aku langsung membungkam mulut dengan telapak tangan.

Astaghfirullah! "Pak Jibran?!"

Pak Jibran juga nampak terkejut. Mungkin karena tak mengira aku akan berteriak seperti itu. "Maaf, maaf, saya ngagetin kamu ya?" katanya padaku. Aku tak langsung menjawabnya karena jujur saya aku masih sangat syok.

Mungkin raut gelisahku itu tercetak begitu jelas hingga Pak Jibran langsung menyadarinya. "Kamu kok kayak ketakutan banget? Ada apa?" tanyanya.

Dalam keadaan seperti ini, aku tak bisa memikirkan hal lain selain meminta bantuan Pak Jibran. Aku takut kalau pria itu akan tetap mengikutiku bahkan sampai ke parkiran dan hal itu jelas akan berbahaya untukku dan Azzam karena keadaan tempat parkir yang sepi.

Aku pun lantas memajukan sedikit kepalaku untuk berbisik pada Pak Jibran. Menyebutkan ciri-ciri pria asing itu dan bertanya pada Pak Jibran apakah ia masih mengikutiku.

Tatapan mata Pak Jibran langsung menyapu ke sekeliling, mungkin mencari sosok yang kumaksud. Sampai kemudian ia tiba-tiba mengangguk. "Iya, dia sempat lihat ke sini terus sembunyi di belakang pilar," katanya membuat rasa takutku semakin bertambah.

"Tenang, tenang. Gini, kamu lanjut ke luar aja. Saya juga bakal lanjut jalan ke eskalator," kata Pak Jibran memberi usul yang terdengar tak bagus bagiku.

"Terus kalau dia ikutin saya gimana, Pak?!" tanyaku yang tanpa sengaja jadi sedikit meninggi karena panik.

Pak Jibran menganggukkan kepalanya. "Memang itu yang mau saya lihat. Saya mau tahu dia bergerak ikutin kamu juga atau gak," ujarnya pelan. "Raya, kamu tenang ya. Saya juga gak mungkin biarin kamu kenapa-kenapa. Apalagi kamu lagi bawa anak kecil gini," lanjutnya lagi dengan sedikit melirik pada Azzam.

"Kamu tunggu luar. Saya bakal samper kamu setelah saya sudah tahu dia ada motif apa ke kamu."

Aku akhirnya mengangguk. Setidaknya aku rasa aku bisa mempercayai Pak Jibran mengingat bagaimana lelaki ini juga pernah membantuku sebelum-sebelumnya.

"Baik, Pak. Saya ke luar dulu kalau gitu," kataku.

Pak Jibran mengangguk dan tersenyum. "Iya nih saya mau ketemu temen di atas. Kamu hati-hati ya," ujarnya, bersandiwara. Aku bisa bilang kalau acting Pak Jibran ini sangat lumayan untuk seseorang yang bukan aktor.

Begitu Pak Jibran melambaikan tangan, aku pun melanjutkan langkahku berjalan ke luar. Di setiap pijakan kakiku, rasa cemas juga penasaran terus memenuhi isi kepalaku. Aku kemudian berhenti di tempat yang agak jauh dari pintu untuk menunggu Pak Jibran.

"Ma, ada apa sih? Kok kita berdiri di sini?" tanya Azzam yang mungkin kebingungan dengan sikapku.

Aku berdehem pelan sebelum kemudian mengusap puncak kepalanya. "Ini, Sayang... kita tunggu om yang tadi sebentar ya? Mama ada keperluan sama dia."

Jalan Raya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang