14 | Lebih Baik

3.5K 930 29
                                    

Makan satai bareng-bareng pasti akan terasa lebih nikmat daripada makan sendirian. Untuk itu setelah menjemput Azzam di daycare aku memutuskan mampir dulu ke tukang sate yang beberapa waktu lalu sempat aku lewati namun belum sempat kucoba. Kalau rasanya cocok di lidahku kan lumayan, bisa menjadi langganan di saat tidak ada yang bisa dimasak di rumah.

"Pak, satai ayamnya 50 tusuk ya." Aku mengatakan pesananku begitu berhenti di depan kios yang dijadikan tempat berjualan ini. Aku gak makan 50 tusuk satai itu sendirian kok, kebetulan hari ini ada tamu yang datang ke rumahku jadi aku sekalian beli untuk menjamu mereka.

"Pakai lontong gak, Bu?" tanya penjual itu selagi ia mengipas satai yang mungkin pesanan orang lain.

"Boleh deh lontongnya lima. Dipisah ya, Pak, lontong sama sambalnya."

Usai memesan, aku memarkirkan motorku dan menurunkan satu kakiku. Aku berniat menunggu pesananku dari atas motor saja. Selagi menunggu satai milikku dibakar, aku mengeluarkan ponselku untuk melihat notifikasi yang masuk karena tadi ponselku berdering di perjalanan. Rupanya ada panggilan tak terjawab dari Tante Kinan dan pesan darinya yang mengatakan kalau tamu kami sudah datang. Aku pun lantas membalas pesannya dengan memberitahunya posisiku saat ini.

Setelah memakan waktu sekian puluh menit untuk pesananku selesai dibuatkan, aku kemudian membayarnya dan melanjutkan kembali perjalananku menuju rumah.

Begitu sampai di depan rumahku, kulihat sudah ada kendaraan tamuku yang terparkir di halaman rumah. Aku pun lantas memasukkan motorku dan memarkirkannya di belakangnya.

"Yuk, Sayang!" Setelah menurunkan standar  motorku, aku lantas turun dari motor dan membantu Azzam untuk turun juga. Kemudian kami masuk bersama dengan sebelah tanganku menggandeng Azzam dan sebelah lagi membawa bungkusan satai juga lontong yang kubeli.

"Wah, ada tamu jauh nih." Aku melepas genggaman tangan Azzam di depan pintu lalu mengulurkan tanganku untuk menyambut seorang perempuan yang menghampiriku untuk memberiku pelukan.

"Sehat, Man?" tanyaku pada putri kedua Tante Kinan, Manda. Bagiku ia sudah seperti adikku sendiri karena Tante Kinan pun sudah menjadi layaknya ibu bagiku.

"Alhamdulillah, Mbak. Nih beratku aja nambah terus," adunya seraya menunjukkan lemak yang bergoyang saat ia menggerakkan lengannya.

Aku tertawa kecil mendengar keluhannya. "Wajar, Man, namanya juga lagi hamil. Kalau berat kamu gak nambah justru malah aneh," kataku sambil melepas genggamanku pada plastik bungkusan makanan yang kubawa karena Tante Kinan mengambil alihnya.

"Tante langsung pindahin ke piring ya," kata Tante Kinan sebelum ia beranjak menuju dapur. Aku pun mengangguk mengiyakan.

"Sore, Mbak, maaf kita jadi ganggu waktu istirahatnya nih." Reza, suaminya Manda, ikut berdiri dari tempatnya duduk dan menyalamiku. Sebenarnya dari segi usia Reza sebaya denganku, namun karena Manda memanggilku 'Mbak' maka ia juga jadi ikut-ikutan memanggilku begitu.

"Gak kok, gak ganggu. Ayo, duduk lagi! Santai aja santai." Aku kemudian menggiring mereka kembali untuk duduk di ruang tamu.

"Sayang, kamu mandi dulu ya," kataku kemudian pada Azzam yang mengekorku duduk di sofa.

"Bajunya gimana, Ma?" tanyanya. Sebenarnya Azzam bukannya gak bisa ambil dan pakai baju sendiri, cuma ya gitu namanya anak-anak jadi belum terampil. Kadang ia asal tarik baju yang mau dipakainya hingga lipatan baju yang lainnya jadi berantakan.

"Sini, Sayang, sama Nenek!" Tante Kinan berseru memanggil Azzam selagi ia membuka bungkusan yang tadi kubawa di atas meja makan. Mendengar panggilan Tante Kinan, Azzam pun berlari menghampirinya.

Jalan Raya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang