***
💌Happy Reading💌
Gulungan-gulungan air silih berganti menapaki tepian pasir putih. Matahari kian menunduk, melambai dengan jingganya sinar, menyampaikan salam perpisahan hangat nan menenangkan.
Setidaknya inilah hiburan hati yang tengah memar. Berulang kali ditikam lara dan sesak. Lemahnya hati memang sebuah bencana dan besarnya cinta daripada logika merupakan malapetaka.
Sendunya mata yang berkaca mengawang lurus ke hamparan pasir dan air bising. Di pangkuannya ada sebuah kue coklat yang sudah nampak berantakan. Tulisan-tulisan di atasnya pun sudah kabur. Entah untuk merayakan naiknya level umur atau perayaan sebuah pencapaian, yang jelas tak ada binar seri di wajahnya.
Perlahan ia bangkit, kaki jenjangnya melangkah maju, mengikis jarak dengan air bergulung. Dinginnya air mulai menggelitiki punggung kaki. Bibirnya tersungging ke atas. Ini menenangkan.
Namun ketenangannya tak bertahan lama kala sebuah kalung di lehernya terjatuh. Kalung yang agaknya amat berharga. Karena tanpa pikir panjang, ia langsung mengejar kalungnya yang sudah tergulung oleh air.
Dadanya bergemuruh. Bibirnya bergetar. Air matanya luruh. Dan tak gentar, ia masih bergulat dengan raja lautan. Gelombang-gelombang raksasa sama sekali tak menggoyahkan niatnya. Tak ada ketakutan untuk nyawanya sendiri. Karena yang ia tau, ia mau kalung itu.
Seketika tubuhnya terhempas ke belakang. Ada sebuah tangan yang menariknya secara paksa. Lalu, dibawanya tubuh mungil itu ke tepian. Menyelamatkannya dari kematian. Tanpa tau bahwa gadis itu tak pernah merasa hidup sejauh ini. Dia sudah mati, sedari lama. Jiwanya pergi bersama dia yang telah pulang.
"Kamu udah gila?!" ucap seorang pemuda.
Perempuan tadi tak menjawab. Ia hanya melayangkan tatapan sengitnya. Setelah itu, ia menghempaskan kasar genggaman dari pemuda tersebut. Lalu, kakinya kembali melangkah mendekati air. Dan untuk kedua kalinya, pemuda di sana menghentikan aksi konyol perempuan tersebut.
"Kak!"
"Putra lepasin tangan gue!" bentaknya. Api membara dari sepasang obsidian gilap-gemilapnya.
Lantas, bayangan membara itu sama sekali tak menggetarkan pemuda tersebut. Dia-- Arsen Putra Atmaja-- yang tetap kukuh dengan pendiriannya. Menggenggam erat jemari gadisnya. "Itu bahaya, Kak!"
"Gue nggak peduli, gue mau kalung itu!" ucapnya seraya mencoba melepaskan cekalan tangan Putra. Namun nihil, genggaman itu lebih kuat dari yang ia duga.
"Putra! Itu kalung dari Nata! Gue nggak bisa kehilangan kalung itu!" bentaknya, seraya mencari persetujuan dari sepasang mata teduh milik Putra. Meminta sedikit saja belas kasihannya.
"Kak..." cicitnya. Tak tau lagi harus berapa kali ia memohon pada gadisnya.
"Putra tolong! Jangan egois!" bentak sang gadis lagi.
Cekalan yang awalnya kuat mengendur, tanpa perlawanan. Karena hanya dengan kalimat menyakitkan, kaitannya lepas begitu saja. Mata teduhnya bersorak pedih. "Putra egois?" tanyanya yang nyaris seperti bisikan.
Setelahnya Putra tersenyum miris seraya mengangguk-anggukan kepalanya. "Kamu takut kehilangan kalung itu kan?"
Elzi tak menjawab. Wajahnya masih datar seraya berusaha menetralkan emosi yang menyelimuti hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skema Nestapa [Selesai]✓
Teen Fiction𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚 𝐍𝐀𝐓𝐀 : 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐤𝐮, 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐫𝐞𝐭 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮. (Boleh dibaca terpisah tanpa membaca Nata terlebih dahulu) Hari-hari suram terus berlalu. Bayang-bayang masa lalu masih melek...