Mentari sudah mengambil alih peradaban pagi ini, menawarkan sejuta mimpi lewat pendar cahaya yang berseri. Burung-burung pun mulai membangun melodi, seakan merayakan kemenangan untuk tenggelamnya bulan sabit malam tadi. Nampaknya banyak sekali suka cita yang didedikasikan semesta pagi ini, yang dimana sangat kontras dengan perasaan Elzi. Karena diam-diam Elzi tengah mengutuk hari ini. Mengkhianati sang mentari dan kicau burung pagi.
Gadis itu masih mematut dirinya di depan cermin. Kostumnya sudah rapi bersama tas dan pelengkap lainnya. Namun satu-satunya alasan ia masih bertahan dan betah meratapi nasibnya adalah karena sebuah mobil yang terparkir di pelataran rumahnya.
Putra menjemputnya.
Setiap detik, menit, dan jam yang berlalu seakan tak mengizinkan Elzi hidup dengan damai. Atau bahkan, setiap tarikan nafasnya, Elzi merasa tersiksa akan ingatannya yang terus menyeruak. Ingatan yang sangat memalukan semalam. Dimana ia mencium Putra terlebih dahulu. Sialan!
Lo sinting El! Sinting!
Berulang kali ia menghembuskan nafasnya. Mengatakan bahwa dia sanggup berhadapan dengan Putra. Tapi nyatanya, semakin ia melangkah, semakin jelas pula ingatan semalam. Ditambah lagi adanya beberapa barcode yang Putra tinggalkan pada lehernya. Astaga! Apakah sebaiknya dia pura-pura mati saja pagi ini?! Elzi tidak sanggup!
"Elziiii! Ini Putra udah nungguin dari tadi!" teriak Bunda hanya untuk menambah kepanikan Elzi.
Oke. Tarik nafas. Tahan. Buang.
Sekali lagi, dia melihat dirinya dari pantulan cermin. Bibirnya dipaksa tersungging. Tangannya membenarkan setelan turtleneck yang ia padukan dengan kemeja abu-abu. Baju ini adalah pilihan yang paling tepat untuk sekarang.
Lalu bersamaan dengan teriakan Bunda yang ke dua kalinya, Elzi kembali mengembuskan nafas panjang. Memejamkan matanya sejenak lalu ia melangkah keluar, dimana ragu itu ia bakar habis-habisan di dalam setiap langkahnya.***
Nyaringnya knalpot kendaraan menginvasi jalanan sepi. Kota pagi ini memang belum terlalu ramai, dimana jalanan gampang sekali diperdaya oleh knalpot-knalpot motor yang menjerit akibat terlalu lihai menaklukan jalanan. Seolah si tuan-nya takut diserbu oleh lautan kendaraan beberapa waktu yang akan datang. Antisipasi.
Mungkin Elzi pun harusnya begitu. Membawa motor lalu melaju, beradu kecepatan dengan debaran jantungnya. Seharusnya. Karena memang nyatanya, ia tengah duduk manis di dalam mobil. Posisi kaku dengan mata yang terus berlarian, sebisa mungkin tidak bertabrakan dengan monolid Putra. Mati kutu.
Putra melirik Elzi, kemudian dia terkekeh tanpa suara. Matanya fokus ke jalanan lengang dihadapannya. "Kalo mau tanya, tanya aja." Ucapnya hanya untuk menemui ujung mata Elzi yang sempat melirik ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skema Nestapa [Selesai]✓
Teen Fiction𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚 𝐍𝐀𝐓𝐀 : 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐤𝐮, 𝐤𝐚𝐦𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐞𝐫𝐞𝐭 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮. (Boleh dibaca terpisah tanpa membaca Nata terlebih dahulu) Hari-hari suram terus berlalu. Bayang-bayang masa lalu masih melek...